Oleh : Asma Sulistiawati (Pemerhati Umat)Â
Gencatan senjata antara Israel dan Hamas akhirnya diumumkan pada 9 Oktober 2025, setelah proses negosiasi panjang yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar. (Al Jazeera, 9/10/2025) Pemerintah Israel menyebutnya sebagai "fase pertama" dari penghentian operasi militer, termasuk penarikan sebagian pasukan dari Gaza dan rencana pertukaran tahanan. Hamas menanggapinya sebagai "langkah menuju akhir perang."
Namun hanya beberapa jam setelah kesepakatan diumumkan, ledakan kembali mengguncang Gaza. Serangan udara Israel menghantam kawasan Beit Lahiya dan Khan Younis, menewaskan sedikitnya sepuluh orang dan melukai puluhan lainnya. (Democracy Now, 10/10/2025) Militer Israel berdalih bahwa operasi itu menargetkan kelompok "teroris yang masih aktif menyiapkan roket."
Sementara masyarakat dunia bersorak atas berita gencatan senjata, warga Gaza kembali menggali reruntuhan rumah dan mencari jenazah keluarganya. Di balik kata "damai," Gaza masih dibungkam oleh blokade, kelaparan, dan kehilangan.
Gencatan yang Tidak Seimbang
Gencatan senjata di Gaza gagal bekerja karena berdiri di atas ketimpangan kekuasaan. Israel tetap menjadi pihak dominan, baik secara militer maupun politik. Dalam perjanjian yang sama, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa "pasukan Israel akan tetap berada di Gaza sampai Hamas dilucuti sepenuhnya." (The Guardian, 10/10/2025)
Dengan posisi tersebut, Israel memiliki keleluasaan menafsirkan setiap pelanggaran sebagai "langkah pertahanan." Selama bertahun-tahun, setiap serangan balasan dianggap sebagai "hak mempertahankan diri," bukan agresi. Inilah akar kegagalan setiap gencatan senjata tidak ada keseimbangan kekuasaan dan tidak ada mekanisme penegakan keadilan.
Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar yang bertindak sebagai mediator juga tidak memiliki otoritas nyata untuk menghukum pelanggar. PBB kerap lumpuh oleh veto politik. Saat Israel melanggar, dunia hanya mengeluarkan pernyataan "keprihatinan mendalam." Tidak ada konsekuensi.
Situasi ini mencerminkan pola berulang dunia internasional lebih sibuk mengelola konflik ketimbang menyelesaikannya. Gencatan senjata dijadikan jeda kosmetik untuk menenangkan opini publik global, bukan langkah menuju keadilan. (Middle East Monitor, 10/10/2025)
Fakta di lapangan bahkan menunjukkan bahwa penderitaan warga Gaza terus berlanjut di tengah klaim "perdamaian." Bantuan dari darat berulang kali tertahan di perbatasan Rafah. Truk-truk berisi makanan, bahan bakar, dan obat-obatan menunggu berhari-hari tanpa izin masuk, bahkan ketika rumah sakit kehabisan listrik dan pasien sekarat di ruang operasi.