Tentang Manusia "Tersesat"
Juli 2019 silam, saya dan sembilan orang saudara seangkatan saya datang bergerombolan ke Jogja. Tujuan kami kala itu ialah belajar filsafat dan teologi di Universitas Sanata Dharma, agar kelak menjadi seorang pelayan Kristus (karena salah satu syarat untuk menjadi imam Katolik, yang biasa disebut romo atau pater ialah wajib belajar filsafat dan teologi). Agar......
Saat itu, kami masih kudus -- paling tidak saya menggagapnya demikian -- karena kami baru menyelesaikan masa novisiat. Dalam tradisi Katolik, novisiat adalah momen menepi, dan juga tahun pendidikan untuk mendalami tarekat hidup religius tertentu. Saya dan kesembilan saudara itu, belajar teladan hidup Santo Antonius Maria Claret (1807-1870), yang menjadi pendiri kongregasi Cordis Mariae Filius (CMF). Berbekal identitas CMF, kami bekesempatan untuk berdinamika di kampus yang diajar oleh dosen-dosen hebat.
Singkat cerita, dalam perjalanan menekuni pendidikan imam tersebut, satu per satu kami gugur. Bagi saya, (refleksi pasca-kejadian) gugurnya kami karena tidak bisa menjadi manusia kalos kaghatos dalam Kurikulum pendidikan Platon. Kalau Platon memahami bahwa manusia kalos kaghatos adalah pribadi yang baik dari sisi etis, dan elok dari sisi estetis, maka dalam paradigma saya, seorang yang mau menjadi pelayan Kristus (imam) harus memilik karakter demikian.
Menurut Setyo Wibowo, manusia yang elok dan baik tersebut mengolah ephitumia, thumos, dan logistike menuju hal baik (the idea of the good). Kalau dalam tingkatannya, thumos dan ephitumia sering berhubungan dengan nafsu dan harga diri, emosional dan hasrat menguasai, sedangkan logistike atau logistikon berkaitan dengan kecakapan rasio dan pikiran. Diparalelkan dengan dengan mitos kereta bersayap, ada dua kuda yang lengkap dengan penariknya.
Pada intinya, dari kami bersepuluh -- bagi saya -- tak ada satu pun yang mampu mengolah dengan baik apetitif, spirited, dan logical atau ephitumia, thumos, dan logistike Platon. Dalam hidup membiara konsep ini mungkin bisa dipadankan dengan kemiskinan, kemurnian dan ketaatan. Entahlah, saya menduga, bisa ya bisa tidak. Terlepas dari urusan demikian, kami semua selalu mengingat apa yang dilontarkan Soren Kierkegard, "Life can only be understood backwards; but it must be lived forwards". Dan kami bersepuluh tetap maju hingga menyelesaikan studi, walau pun dengan walau, tetapi bersyukur semuanya selesai dengan baik.
KBA dan Ikhtiarnya
Pasca menyelesaikan studi satu persatu meninggalkan Jogja. Berbekal gelar Sarjana Filsafat kami menata hidup masing-masing. Dari bersepuluh, hanya kami bertiga yang tersisa di Yogyakarta. Basaudara kami yang lain sudah terjun ke dunia kerja dan urusan bisnis kehidupannya masing-masing. Saya dan yang si paling bungsu, berikhtiar membentuk satu komunitas belajar di Jogja. Tujuan kami kala itu untuk mengasah dan juga meningkatkan kemampuan kami dalam manajemen dunia pendidikan. Kami membangun Komunitas Belajar Areopagus. Nanti akan saya ceritakan tentang Areopagus dan segala macam mimpinya. Akan ada sesi dimana semua cerita tentang Areopagus dan ide-ide gilanya turut mewarnai percaturan dunia.
BTW, sebagai spill awal bisa kunjungi instagram @areopagus.2023. Pada tanggal 13 Januari 2024, kami berkunjung ke Panti Asuhan Bina Putera Bantul, kami berdinamika dari pukul 10-00 -- 18:00. Ini salah satu ikhtiar kami, bahwa pendidikan gaya bank, bisa juga diselesaikan dengan pendidikan yang duduk melingkar, bercerita tentang harapan dan optimisme masa depan.
Saya ingin mengakhiri catatan ini, dengan mengenang puisi Joko Pinurbo, Jogja terbuat dari rindu pulang dan angkringan, sangat romantis,walau sebenarnya dibalik romantisme itu, terkuak beragam bentuk catatan merah dan kelemahannya. Jogja ahh sudahlah. Banyak yang harus diperbaiki dan juga banyak yang harus dibenarkan. Bagi saya, Jogja jadi tempat untuk mengisi pundi-pundi kepala dan nurani, agar kelak saya pulang ke NTT, saya bisa membagi apa yang saya pelajari. Itulah mengapa setiap mendengar Jogja dan segala isinya, saya tidak hanya mengingat kemegahan, kemewahan dan keglamorannya, juga litani pengharapan orang-orang tersesat seperti saya, dan mungkin juga anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H