Riwayat Singkat
Origenes Adamantios atau yang dikenal sebagai Origenes dari Aleksandria lahir di Aleksandria sekitar 185/186M.[1]Ayahnya bernama Leonidas dibunuh sebagai martir, karena hartanya disita ia menjadi guru katekumen di Alexandria.
Pada usia sekitar 17 atau 18 tahun dia menjadi kepala sekolah, diangkat oleh uskup Demetrius mengantikan Klemens yang melarikan diri karena penganiayaan Kaisar Septimius Severus.
Selama masa penganiayaan ia adalah salah seorang pembimbing rohani yang sangat berpengaruh. Ia menghasilkan banyak sekali karya Tulis misalnya perihal asas-asas, melawan Kelsos dan lain.
Namun pada tahun 543 Kaisar Yustinianus I memerintahkan untuk karya-karyanya. Konsili Konstantinopel II pada tahun 553 menetapkan Origenes sebagai bidaah dan menolak ajarannya tentang prawujud jiwa.
Origenes akhirnya meninggal pada tahun 254 M di Tyre sekarang Libanon. Kebenaran kronologi sejarah hidupnya masih sangat jauh dari kebenaran dan menimbulkan banyak pertentangan di kalangan para skolastik.[2]
Baca Juga Pemikiran dari Gregorius dari Nyssa
Ajaran Origenes
- Ajaran Tentang Cara Penafsiran Kitab Suci
Origenes memberikan cara baru dalam memahami atau menafsir Kitab Suci. Bagi Origenes Kitab Suci yang adalah Wahyu Allah kepada manusia semestinya ditafsir dengan metode atau pola yang baik.
'Bagi Origenes berteologi berarti menerangkan atau memahami Kitab Suci, atau dapat dikatakan juga, teologinya adalah siombiosis sempurna antara teologi dan eksegesis'.[3] Pengajaran Origenes rupanya adalah undangan bagi banyak orang untuk memahami Kitab Suci tidak hanya sebagai huruf semata tetapi pada jiwa kitab suci.
Ada tiga tahapan atau pola yang diberikan oleh Origenes agar Wahyu Allah, sungguh-sungguh menjadi daya pengubah hidup manusia:
Penafsiran secara literer atau harafia (teks itu sendiri)
Pertama-tama Kitab Suci dibacanya dengan maksud untuk memahami teks Kitab Suci dengan setepat mungkin dan untuk menyajikan terjemahan Kitab Suci yang paling menyakinkan. Ini misalnya, langkah pertama dilakukan adalah mengetahui secara benar apa yang ditulis dan maksud asli tulisan tersebut.[4]
Untuk mencapai hal itu maka, pertama: diadakan penelitian luas dan dibuatnya suatu terjemahan kitab suci dengan enam kolom sejajar, dari kiri ke kanan, mulai dengan teks Ibrani yang ditulis dengan Ibrani. Origenes bahkan berdiskusi dengan rabi-rabi untuk memastikan kebenarannya dan telah dipahaminya dengan tepat.
Kemudian Origenes melanjutkan telaah literenya teks Ibrani yang ditulis dalam huruf Yunani. Lalu ia juga menyajikan empat terjemahan lain sebagai komparasi kemungkinan-kemungkinan yang berbeda untuk menerjemahkannya.
Sinopsis sangat besar ini diberi nama Hexpla, yang berarti enam kolom. Inilah hal penting pertama dalam memahami kitab suci menuert Origenes, yakni mengetahui dengan tepat apa yang telah ditulis, teks itu sendiri.
Kedua: membaca secara sistematis, dengan komentar-komentar yang diacukan dalam teks. Komentar-komentar yang ada dalam teks yang didapat oleh Origenes ketika ia mengajar di Alexandria dan di Caesarea, menjadi pegangan penting baginya.
Ia menerangkan praktis ayat demi ayat dalam Kitab Suci dengan memakai pendekatan yang mendetail, luas dan analitis, dan dengan catatan-catatan yang bersifat psikologis dan doctrinal. Ia bekerja secara sungguh-sungguh untuk mengetahui apa yang mau dikatakan pengarang suci.[5]
Penafsiran yang bersifat moral
Dimensi kedua yang ditekankan oleh Origenes adalah nilai moral yang ditawarkan dari pembacaan akan teks Kitab Suci[6]. Penafsiran ini bertujuan untuk meningkatkan nilai kehidupan masyrakat dengan mempelajari teladan hidup tokoh dalam Kitab Suci. Tata laku hidup dijadikan sebagai acuan moral yang mengacu pada teks Kitab Suci.
Metode penafsiran ini memiliki kualitas yang lebih besar bila dibandingkan dengan penafsiran secara harafiah. Alasnnya adalah jika penafsiran harafia atau literer digunakan untuk memahami teks itu sendiri, sedangkan penafsiran yang berdimensi moral, memberikan bias untuk masyarakat atau jemaat lainnya.
Penafsiran berdimensi spiritual
Hal yang ditekankan dalam penafsiran ini adalah kesatuan dengan Kristus. Origenes menyadari bahwa Kitab Suci sejak proses perkembangannya berbicara tentang Yesus Kristus. Origenes menerangkan bahwa Roh Kuduslah yang menerangkan manusia untuk mengerti Kristologis Kitab Suci. Roh Kudus pula yang menjadi dasar kesatuan Kitab Suci, walaupun isinya bermacam-macam. Arti ini membantu umat, mengantar pada Kristus, dalam terang Roh Kudus.[7]
Origenes membuat sebuah analogy yang menggambarkan tiga metode penafsiran di atas dengan sangat baik. 'Demikianlah pengajaran hukum taurat dan nabi-nabi dalam sekolah Kristus, isinya pahit seperti kulitnya, berikutnya saya sampai pada daging buahnya, yaitu pengajaran tentang moral, dan ketiga kalinya saya membuka arti misteri-misteri yang menjadi santapan jiwa orang beriman dalam hidup sekarang maupun yang akan datang.[8]
Origenes berhasil memperkenalkan secara efektif penafsiran kristiani terhadap Perjanjian Lama dan menangkis secara gemilang tantangan para bidaah Marcionit dan Gnostikus, yang mempertentangkan Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sampai-sampai menolak Perjanjian Lama. Marcion menyangkal kekuasan Allah dalam perjanjian Lama.[9] Bahkan ajaran ini menekankan bahwa Allah Perjanjian Lama berbeda dengan Allah Perjanjian Baru.
Origenes menegaskan bahwa Allah adalah satu, Allah yang sama juga telah berkarya dalam diri para nabi dan Yesus sendiri. Origenes menambahkan bahwa 'Hebrew Scripture reveals the same God as Christian Scripture'; Kitab Suci Ibrani (Perjanjian Lama) juga menerangkan Allah yang sama dalam Kitab Suci Kristiani (Perjanjian Baru).[10]
Origenes bahkan menegaskan bahwa Hukum taurat tidak disebut sebagai perjanjian lama kalau dipahami dalam Roh. Hukum Taurat hanya menjadi suatu perjanjian lama bagi mereka yang hanya berhenti pada harafiah teksnya[11]. Tetapi bagi umat yang memahami dengan Roh, Hukum selalu menjadi baru, dan kedua Perjanjian selalu menjadi suatu Perjanjian Baru.
- Ajaran tentang Doa dan Gereja
Pemikiran-pemikiran Origenes sangatlah kaya dari segi teologi dan akademis, tetapi pandangan-pandanganya tidak melulu terpaku pada dua hal tersebut. Teologinya selalu didasarkan atas pengalaman doa, pada kontak personalnya dengan Allah. Ia menegaskan bahwa pengetahua tentang Kitab Suci menuntut keakraban dengan Kristus serta doa, melebihi studi.
[12] Menurutnya jalan paling utama untuk mengenal Allah adalah Kasih dan tidak ada seorangpun bisa mewartakan pengetahuan tentang Kristus (scientia Christi) yang autentik jika tidak mencintai-Nya.
Origenes sangat berperan penting dalam sejarah Lectio Divina sangat mencolok. Ambrosius, seorang uskup Agung Milano telah belajar membaca Kitab Suci dari karya-karya Origenes.
Pengajaran Origenes tentang Gereja (umat Allah), sangatlah khas. Ia menekankan bahwa dalam diri Gereja atau diri umat beriman terdapat rahmat imamat. Ia menegaskan bahwa rahmat tersebut semestinya digunakan untuk mengetahui bagaimana sikap seharusnya menghadap altar Allah.[13] Penekanan ini didasarkan pada ungkapan Petrus yang menyatakan bahwa 'Bangsa yang terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah.
- Ajaran tentang dosa
Pengalaman kejatuhan (dosa) manusia disebabkan karena kejenuhan untuk berkontemplasi akan kesempurnaan Allah dan melihat keberadaan Allah yang hanya berada dalam keadaan damai.
Mereka menghukum diri mereka dengan frustrasi yang berlebihan dan berakibat pada kejatuhan. Dalam pemahaman Origenes Allah telah memberikan roh yang telah jatuh dengan sebuah tubuh. Alasannya adalah dengan demikian roh yang jatuh itu dapat menghadapi tantangan-tantangan yang dihadapi tubuh. Origenes menegaskan bahwa tubuh manusia sejenis dengan gymnasium bagi roh-roh yang malas.[14]
- Sumbangsih Pemikirannya Dalam Teologi
Origenes memberikan kepada Kristologi Yunani sejumlah istilah ilmiah yang amat membantu untuk mengungkapkan secara intelektual dan konseptual apa yang diimani mengenai Yesus sang Kristus (physis=kodrat, hypostasis=substansi, ousia=hakikat, homousios=sehakikat, dan theanthropos=kesatuan dari sang Allah-manusia)[15], akan tetapi, ada pula kekurangan dalam Kristologi Origenes yang disebabkan oleh kerangka filosofis yang dipakainya, yang berakibat bahwa gagasan inkarnasi kurang ditegaskan.
Penjelmaan sabda dipandang sebagai ensomatosis (hal memasuki tubuh) dari jiwa kristus yang pra-ada , sama seperti semua jiwa lainnya dipandang pra-ada baru kemudian dipersatukan dengan tubuh, sesuai dengan ajaran Plato. Pandangan ini terlalu berbeda dengan apa yang lazimnya dipandang sebagai kodrat manusia yang sungguh-sungguh. Begitu pula Origenes berpendapat bahwa sesudah kebangkitan tubuh mulia Kristus semakin diresapi oleh kerohanian-Nya (bertentangan dengan iman kristiani dan ini sama dengan pandangan gnostik).
Ia menjelaskan bahwa: Logos sebagai gambar Allah memegang peranan Pewahyu: gambar menyatakan dia yang digambarkan. Logos bagi origenes merupakan sujek dan objek wahyu dalam waktu serentak. Origenes berargumen bahwa inkarnasi menjadi puncak pertama yang dicapai wahyu Allah, dan Parusia adalah puncak kedua. Dengan mengaitkan penjelmaan dengan kedatagan Kristus pada akhir zaman, origenes mengembangkan paham wahyu yang dinamis.
- Filsafat yang mempengaruhi pemikiran Origenes
Pemikiran Origenes sangat dipengarhi oleh filasafat Plato dan Stoa. Platonisme dan stoisme sangat mempengaruhi pemikiran Origenes.[16] Fokus pandanganya yang dipengaruhi oleh kedua aliran ini adalah bagaimana menjelaskan dan memahami hubungan antara passion (dorongan atau kekuatan non-rasional) dan kebijaksanaan atau kebajikan.
Hal kedua yang menjadi concernya adalah bagaimana menjelaskan perpindahan atau transisi dari kesatuan ilahi (divine unity) kepada banyak hal di dunia material (multiplicity of things in the material world). Filsafat Platonisme dan Stoisisme telah memberi cara baru bagi Origenes untuk memahami konsep-konsep penciptaan.
Baca Juga Renungan menarik di sini
Refrensi
[1] Perbedaan ini dapat ditemukan dalam Buku G. R. Evans, The first Christian Theologians, 133
[2] G. R. Evans, The first Christian Theologians, 133.
[3] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, terj. dari The Fathers oleh Waskito, SJ, Malang: Dioma, 2010, 50.
[4] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 52
[5] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 52.
[6] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 53.
[7] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 53.
[8] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 54.
[9] G. R. Evans, The first Christian Theologians, 134
[10] G. R. Evans, The first Christian Theologians, 134
[11] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja,55
[12] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja,56
[13] Benediktus XVI, Bapa-Bapa Gereja, 59.
[14] G. R. Evans, The first Christian Theologians, 136.
[15] Pembahasan ini kami ambil dari buku Niko Syukur, Teologi Sistematika I.
[16] G. R. Evans, The first Christian Theologians, 141 'Platonism and Stoicism are the main intellectual influences visible in Origen's work.'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H