(Treng treng treng, kereta melaju dari arah barat)
Bako digulung untuk kesekian kalinya. Kepulan asap mengapung ke saku-saku penunggu kereta. Sisa bara api bertebaran kadang menempel diatas paha, menyelinap pada saku.Â
Jam dinding menantang pandangan penunggu kereta.Â
Kereta yang dinanti tiba sesuai janji pada jam dinding yang kesepian. Langkah berderap ke arah tangga menuju kereta. Pandangan menyusur ke arah bokong wanita kemudian dada kemudian wajah. Sesekali dipalingkan ke kaki, berharap menjaga fitrah kaum wanita.
Badan berdesakan kembali mencari kursi setelah berebut naik kereta. Mata menyusuri kursi-kursi yang layak diduduki. Kemudian pandangan berhenti di kursi yang diduduki seorang wanita manis sendirian, namun hati cendurung memilih kursi kosong, layak untuk menyepi.Â
( gujreg gujreg guncangan kereta melaju ke arah Cimekar)
Kaki berderap kembali setelah gerbong beristirahat di stasion Cimekar. Langkah kaki dengan tangkas meloncat keluar kereta. Sesekali kami melihat wc hendak buang air kecil, namun sayangnya wc penuh dan ada kotak kecleng bertengger menganga mulutnya memangsa serangga saku. Kaki dilangkahkan kembali ke arah cibiru. Perjalanan cukup panjang yang ditandai keringat bergelantung dijidat-jidat.
Berhenti di tepi sungai, menggulung tembakau sisa 3 jari anak kecil.Â
Dialog ringan pecah dibawah rimbunan pohon. Tawaan anak-anak dan ujaran ibu-ibu tentang kekayaannya menjadi lagu pengantar istirahat kami.Â
" Hidup? " sambil menggulung bako tanpa terbata.Â
Seorang keriting teman seperjalananku, menggeser mata ke arah atas, menandakan berpikir ato bahkan melihat keesaan ilahi.