Sinetron elpiji yang meyengsarakan rakyat!
Belum lagi sembuh luka yang dirasakan masyarakat, kini luka itu kian bertambah, kebijakan-kebijakan negara semakin bertolak belakang dengan tujuan negara sejatinya. Negara yang seharusnya mensejahterakan, mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kini seakan hanya menjadi jargon belaka. Problematika kian bertambah, luka lama seperti kenaikan harga BBM, upah buruh yang tak layak, biaya pendidikan yang semakin tidak berkawan dengan rakyat, dan kasus korupsi yang tak kunjung usai.
Di awal tahun 2014, rakyat kembali disengsarakan dengan kenaikan harga elpiji 12 Kg yang dilakukan oleh PT.Pertamina (persero). Memang benar , langkah yang dilakukan pertamina untuk menaikkan harga elpiji 12 kg adalah wewenangnya. PT.Pertamina yang telah berubah status dari PN (Perusahaan Negara) menjadi Perseroan atau persero memiliki hak untuk menetapkan harga elpiji non subsidi. Tapi apakah langkah tersebut sudah tepat? Bukankah keuntungan PT.Pertamina guna untuk mensejahterakan rakyat, bukan mengeluarkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Pertamina menaikan harga pokok sekitar 67% per kg, yaitu dari Rp 5.850 per kg menjadi Rp 9.809 per kg. Jika berpatokan dari sini seharusnya harga jual dari Pertamina naik dari Rp 70.200 menjadi Rp 117.708 per tabung. Namun kenyataannya ditingkat pengecer kenaikan ini terlalu tinggi hingga mencapai Rp. 140-200 ribu per tabung(liputan6.com). Dari hasil kebijakan tersebut banyak rakyat yang merasakan langsung dampaknya.Kenaikkan elpiji 12kg dibarengi dengan kelangkaan elpiji 3kg, hal tentu membuat masyarakat semakin sengsara.
Seakan seperti sinetron yang sudah diatur, pemerintah sebagai pemilik saham utama Pertamina megurangi kenaikkan harga tersebut, yang sebelumnya naik hampir Rp. 4000 per Kg,menjadi Rp.1000 per kg atau naik Rp.12.000 per tabungnya. Menjelang pemilu 2014 tentu saja para koalisi dan oposisi pemerintahan saat ini berebut mencuri hati rakyat dengan berbagai upaya, seperti sinetron elpiji yang menyengsarakan rakyat, lagi-lagi rakyat jadi tumbal. Bila kita lihat sisi lainnya, Pertamina bisa saja dianggap tidak becus mengurus elpiji dan demi kepentingan asing, teriakkan privatisasi bisa saja didengungkan. Citra Pertamina seakan ditumbalkan, Blok mahakam bisa saja tak jadi di Nasionalisasi.