Â
Peluncuran program bantuan sosial (bansos) digital pada 2026, sebagaimana disampaikan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, dianggap sebagai terobosan dalam mencegah praktik korupsi. Digitalisasi bansos diharapkan memangkas rantai birokrasi dan menutup celah manipulasi. Namun, pertanyaannya apakah digitalisasi benar-benar akan menghadirkan transparansi, atau sekadar menambah lapisan masalah baru dalam sistem distribusi bantuan sosial?Â
Digitalisasi sebagai Janji Transparansi
Transformasi digital kerap dipandang sebagai mantra ajaib dalam tata kelola pemerintahan. Dengan satu sentuhan teknologi, urusan yang ruwet bisa dibuat sederhana, efisien, dan transparan. Dalam konteks bansos, digitalisasi diproyeksikan dapat mengurangi praktik penyimpangan, mulai dari pemotongan oleh oknum aparat, salah sasaran penerima, hingga manipulasi data.Â
Secara teori, digitalisasi memang menjanjikan banyak hal. Penggunaan big data, blockchain, atau aplikasi terintegrasi bisa memudahkan pemetaan penerima bansos secara real time. Bahkan, bantuan dapat ditransfer langsung ke rekening atau dompet digital masyarakat miskin tanpa harus melalui banyak tangan. Dengan cara ini, negara bisa memangkas biaya distribusi sekaligus memperkecil peluang korupsi.Â
Narasi ini sesuai dengan visi besar transformasi digital yang sedang digaungkan pemerintah. Indonesia menargetkan diri sebagai salah satu ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2030. Digitalisasi bansos pun dianggap sebagai bagian dari infrastruktur sosial yang menopang agenda tersebut.Â
Namun, di balik retorika, ada celah besar yang tak boleh diabaikan yaitu data penerima. Selama ini, daftar keluarga miskin kerap bermasalah tidak akurat, tumpang tindih, atau bahkan tidak diperbarui bertahun-tahun. Digitalisasi tanpa pembaruan basis data justru bisa mengabadikan kesalahan lama dalam bentuk modern. Jika data rusak, maka hasilnya pun tetap rusak, meski dikemas dalam aplikasi canggih.Â
Selain itu, digitalisasi memerlukan infrastruktur yang kuat. Apakah jaringan internet di daerah terpencil sudah siap? Apakah literasi digital masyarakat penerima cukup tinggi? Apakah pemerintah sudah menyiapkan mekanisme pengaduan digital yang mudah diakses? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, sebab tanpa kesiapan ekosistem, digitalisasi hanya akan menciptakan jurang baru mereka yang paham teknologi akan lebih mudah mengakses, sementara kelompok paling miskin justru semakin tertinggal.Â
Risiko Baru di Balik Euforia Digital
Digitalisasi bansos bukan tanpa risiko. Alih-alih menghapus praktik korupsi, ia berpotensi melahirkan modus baru. Misalnya, penyalahgunaan data pribadi penerima. Dalam era digital, data adalah emas baru. Tanpa sistem keamanan yang kuat, data penerima bansos bisa diperjualbelikan atau disalahgunakan untuk kepentingan politik elektoral.Â
Risiko lain adalah vendor capture. Setiap kali negara meluncurkan program digital, selalu ada pertanyaan siapa penyedia aplikasinya, siapa pengelola servernya, dan siapa yang mendapat kontrak pengadaan sistem? Jika proses pengadaan tidak transparan, digitalisasi justru bisa membuka ladang baru bagi praktik rente dan monopoli.Â