Â
Pertanyaan ini mencuat ketika warganet ramai menyoroti kebiasaan pejabat yang gemar memamerkan kemewahan mobil mewah, rumah, liburan namun jarang terlihat menunjukkan buku. Ironisnya, buku adalah jendela dunia, sumber gagasan, dan fondasi pemikiran kritis yang seharusnya melekat pada setiap pemimpin. Tanpa literasi yang memadai, pejabat hanya menghasilkan kebijakan reaktif, dangkal, dan jangka pendek.
Minimnya bacaan di ruang para pejabat bukan sekadar masalah pribadi. Efeknya meluas hingga membentuk budaya birokrasi dan politik yang kurang reflektif. Bayangkan pejabat yang jarang membaca, kemampuan mereka memahami isu kompleks, merumuskan strategi jangka panjang, atau menimbang risiko sosial-ekonomi terbatas. Akibatnya, kebijakan yang lahir cenderung bersifat populis dan instan, fokus pada pencitraan, bukan solusi substantif.
Dampak literasi rendah juga terlihat dalam pola komunikasi dan argumentasi pejabat. Banyak pidato publik cenderung klise, berulang, atau dangkal. Referensi sejarah, teori sosial, ekonomi, atau perbandingan internasional hampir tidak pernah muncul. Padahal, literasi yang kuat memungkinkan pemimpin menautkan kebijakan dengan pengalaman masa lalu, best practices global, dan pendekatan berbasis data.
Minimnya perhatian pejabat terhadap buku juga memberi contoh buruk bagi masyarakat. Literasi publik sulit berkembang jika pemimpinnya sendiri abai membaca. Dukungan terhadap perpustakaan, pustakawan, komunitas literasi, dan dunia pendidikan cenderung terpinggirkan. Akibatnya, masyarakat sulit menemukan teladan membaca, padahal budaya literasi sejak dini terbukti meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan kapasitas kritis warganya.
Dalam konteks global, literasi pemimpin memang berpengaruh pada kualitas politik. The Economist dalam artikelnya "Is the decline of reading making politics dumber?" menunjukkan bahwa penurunan tradisi membaca berdampak pada kemampuan berpikir kritis para pemimpin. Analisis pidato presiden Amerika, dari George Washington hingga Donald Trump, menguatkan kesimpulan ini. Pemimpin dengan tradisi membaca kuat cenderung menghasilkan kebijakan lebih matang, berpikir lebih luas, dan mampu menyikapi kompleksitas secara bijak.
Kita pun layak bertanya jika membaca satu buku saja sulit bagi pejabat, Apakah sudah Darurat Baca Pejabat kita? Â bagaimana mereka bisa mengelola kompleksitas negara selama lima tahun masa jabatan? Apakah kebijakan yang lahir benar-benar berpihak pada rakyat, atau hanya memenuhi ambisi politik jangka pendek?
Literasi sebagai Fondasi Kebijakan Berkualitas
Buku bukan sekadar hobi bagi pejabat, buku adalah alat kerja utama. Dari bacaanlah lahir gagasan besar, perencanaan strategis, dan kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik. Literasi memberi pejabat kemampuan untuk menimbang skenario, memprediksi risiko, dan menilai dampak sosial-ekonomi dari setiap keputusan. Tanpa itu, kebijakan cenderung reaksioner, terfragmentasi, dan mudah dipengaruhi kepentingan kelompok.
Contohnya terlihat dari isu ekonomi dan lingkungan yang kompleks. Seorang pejabat yang membaca literatur ekonomi dan kebijakan publik internasional mampu merumuskan program yang menyentuh akar masalah, bukan sekadar perbaikan kosmetik. Sebaliknya, pejabat yang jarang membaca akan mengadopsi solusi instan, seringkali tidak sinkron dengan konteks lokal.
Selain itu, literasi pejabat berdampak langsung pada kebijakan pendidikan dan budaya membaca. Pemimpin yang menghargai buku lebih cenderung mendorong anggaran pendidikan, mendukung perpustakaan, dan memfasilitasi komunitas literasi. Sebaliknya, pejabat yang tidak dekat dengan buku akan sulit menempatkan literasi sebagai prioritas nasional. Akibatnya, kualitas pendidikan, minat baca masyarakat, dan kemampuan kritis generasi muda ikut tertinggal.
Literasi juga berkaitan dengan kemampuan berpikir jangka panjang. Indonesia menghadapi berbagai tantangan kompleks, mulai dari pembangunan infrastruktur, reformasi birokrasi, hingga isu perubahan iklim. Pejabat yang literat dapat menautkan kebijakan domestik dengan tren global, memahami best practices internasional, dan menyesuaikan strategi dengan konteks lokal. Tanpa fondasi literasi ini, risiko kebijakan salah arah meningkat, bahkan bisa menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi besar.
Ironisnya, fenomena pejabat yang jarang membaca terjadi bukan karena kekurangan akses buku. Justru sebaliknya, ketersediaan informasi digital, perpustakaan, dan lembaga pendidikan semakin mudah diakses. Masalahnya adalah budaya membaca belum menjadi bagian dari identitas pejabat kita. Padahal, menumbuhkan budaya literasi di kalangan elite politik dan birokrasi menjadi salah satu cara paling efektif memperkuat kualitas kebijakan.
Kita membutuhkan pejabat yang tidak hanya paham isu melalui briefing atau ringkasan laporan, tetapi yang juga memiliki kedekatan personal dengan buku, mampu menginterpretasikan gagasan besar, dan menyesuaikannya dengan konteks Indonesia. Tradisi membaca pejabat akan menular ke birokrasi, lembaga legislatif, dan masyarakat luas. Dengan begitu, kebijakan tidak lagi bersifat reaktif, tetapi proaktif, berbasis analisis, dan berjangka panjang.
Akhirnya, pertanyaan "Seberapa dekat pejabat kita dengan buku?" bukan sekadar retoris. Ini adalah refleksi terhadap kualitas kepemimpinan kita, kemampuan merumuskan kebijakan yang berpihak rakyat, dan keberlanjutan budaya literasi di Indonesia. Jika kita ingin negara ini dikelola dengan gagasan matang, solusi cerdas, dan kebijakan berpihak rakyat, menumbuhkan kedekatan pejabat dengan buku bukan pilihan, tetapi keharusan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI