Mohon tunggu...
Sapraji
Sapraji Mohon Tunggu... Konsultan Politik | Manajemen | Analis Kebijakan Publik | Peneliti | Penulis

Political Consultant, Management, Public Policy Analyst and Founder of IDIS INDONESIA GROUP

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Integritas Diatas Kertas: Mengapa Pencegahan Korupsi Belum Menyentuh Akar Masalah?

22 Agustus 2025   23:15 Diperbarui: 22 Agustus 2025   23:15 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Integritas di Atas Kertas dengan simbol palu hakim dan timbangan hukum . (Foto: Idisign)

Jika dianalisis dengan kerangka policy cycle, maka problem integritas aparatur di Indonesia gagal dijawab secara utuh:

  1. Agenda Setting. Formulasi kebijakan lebih banyak dipicu oleh tekanan politik atau tuntutan internasional (OECD, Bank Dunia), bukan hasil diagnosis mendalam terhadap kultur birokrasi dan politik domestik.

  2. Policy Design. Desain kebijakan masih fokus pada instrumen normatif aturan disiplin, pelaporan, dan regulasi administratif tanpa memperhitungkan faktor informal seperti patronase, oligarki, atau transaksi politik.

  3. Implementation. Implementasi tersandera oleh kapasitas birokrasi yang rendah. Misalnya, unit pengendalian gratifikasi di daerah sering kali hanya formalitas tanpa wewenang investigasi.

  4. Evaluation. Evaluasi lebih menekankan indikator output (berapa banyak pegawai lapor LHKPN) ketimbang outcome (apakah perilaku korupsi menurun).

Dalam konteks kasus Immanuel Ebenezer, ini mencerminkan defisit integritas internal. OTT bukan sekadar kegagalan individu, melainkan gejala dari kebijakan pencegahan yang belum mampu membangun sistem insentif dan disinsentif yang efektif.

Usulan Penguatan Kebijakan Publik

Agar kebijakan publik tidak berhenti pada integritas di atas kertas, perlu langkah-langkah reformasi yang lebih menyentuh akar masalah:

  1. Reformasi Pendanaan Politik. Selama biaya politik tetap mahal dan partai politik mengandalkan "sponsor", aparatur maupun pejabat publik akan terjebak dalam lingkaran balas budi. Reformasi ini harus menjadi prioritas kebijakan nasional.

  2. Penguatan Whistleblowing System. Kebijakan harus menjamin perlindungan maksimal bagi pelapor korupsi, termasuk dalam lingkungan birokrasi, sehingga deteksi dini bisa berjalan.

  3. Evaluasi Kinerja Berbasis Data. Alih-alih hanya menghitung jumlah laporan LHKPN, evaluasi kebijakan publik harus menggunakan data hasil investigasi, tren kasus OTT, serta indikator perilaku organisasi.

  4. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
    Lihat Kebijakan Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun