Sementara itu, kritik terhadap pemerintah makin sulit mendapatkan ruang tanpa dibingkai sebagai kebencian. Beberapa konten edukatif dari akademisi atau aktivis justru tenggelam di tengah banjir video viral yang lebih dramatis namun kurang substansi. Kita menyaksikan politik yang makin emosional, tetapi makin jauh dari analisis kebijakan.
Politik konten juga menciptakan tekanan baru bagi pejabat publik. Popularitas menjadi ukuran tersendiri yang bisa menentukan karier, tak hanya kapabilitas teknokratis. Di sisi lain, masyarakat cenderung mengukur kinerja pejabat dari jumlah pengikut, bukan capaian indikator kebijakan.
Ini tentu berbahaya dalam jangka panjang. Kita bisa kehilangan arah jika politik hanya menjadi panggung tanpa isi. Demokrasi bisa terjebak dalam logika algoritma, siapa yang paling sering muncul, dia yang paling dianggap bekerja.
Antara Harapan dan Kritik
Tentu, tidak semua hal buruk. Beberapa tokoh publik berhasil menggabungkan gaya komunikasi digital dengan substansi yang kuat. Misalnya, ada menteri yang rajin menjelaskan kebijakan energi terbarukan dengan infografis yang menarik, atau kepala daerah yang membuka ruang diskusi daring soal pendidikan dan UMKM. Ini menunjukkan bahwa politik digital tidak harus cetek, ia bisa informatif sekaligus menghibur.
Namun butuh keberanian untuk melawan arus. Sebab algoritma tidak selalu berpihak pada isi. Butuh komitmen politik untuk menjadikan ruang digital sebagai arena deliberasi, bukan sekadar branding.
Sebagai warga, kita pun perlu bersikap kritis. Jangan cepat puas dengan penampilan visual. Tanyakan selalu: apa dampaknya? Bagaimana datanya? Apa evaluasinya? Viral bukan berarti berhasil. Disukai bukan berarti bermanfaat.
Ke depan, pemerintah harus berani mengevaluasi strategi komunikasinya. Komunikasi publik yang baik bukan yang paling menghibur, tapi yang paling mampu menjelaskan. Media sosial bukan sekadar etalase pencitraan, tapi kanal tanggung jawab.
Karena pada akhirnya, politik adalah tentang kehidupan bersama, bukan tentang siapa yang tampil paling sempurna di layar.
Transformasi komunikasi politik di era digital memang tak bisa dihindari. Tapi kita perlu memastikan bahwa substansi tidak dikorbankan demi gaya. Di balik setiap konten harus ada kebijakan yang terukur. Di balik setiap senyum dan sapaan, harus ada kerja nyata.
Jika kabinet ingin menjadi konten kreator, maka biarlah kontennya penuh makna, bukan sekadar dramatisasi. Sebab rakyat tidak butuh tontonan. Rakyat butuh jawaban.