Mohon tunggu...
Santi Mulawarman
Santi Mulawarman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Orang yang paling miskin bukanlah orang yang tak memiliki uang tapi orang yang tak memiliki visi (Africa's Proverb)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tersesat di Kuburan

11 April 2013   16:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:22 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1365672115644270471

“Aku lewat jalan ini aja lah abis yang deket mesti lewat kuburan sih, ngeri …”

Berkat film-film (kacangan) Indonesia berhasil membuat gambaran kuburan sebagai sesuatu yang buruk, jelek dan berhantu, sesuatu yang menyeramkan.

Anak-anakku tak pernah mau diajak ke kuburan bahkan untuk berziarah ke makam kakek dan neneknya. Takut nenek gayung, takut pocong, takut kuntilanak ….alasan mereka.

Pokoknya kuburan itu sama dengan hantu dan menyeramkan. Tak banyak mereka melihat kuburan yang indah dan rapih. Kuburan memiliki areal tanah yang sangat luas, apalagi kuburan rakyat. Sementara harga tanah dan bangunan semakin meningkat apalagi di kota-kota besar. Teringat obrolan teman yang mengingatkan suaminya,

“ Mas …saya ngerti kalau kita miskin, saya pasrah kalau pun Mas gak bisa belikan saya rumah apalagi sawah, tapi aku minta kamu belikan aku tanah 2x2 meter”

“Untuk apa tanah segitu, sekalian aja dikilo tuh tanah….”

“Untuk kuburanku tau….Emangnya kamu mau buang aku ke laut?” si istri menyahut.

Dikampung suamiku sudah ada perkumpulan yang mengurusi pembelian kapling tanah kuburan dengan cara mencicil dan ijin lahan pekuburan ke pemerintah setempat, jadi beberapa keluarga berkumpul dan memilih berapa kapling yang mereka butuhkan. Pernah aku ditanya mertuaku,

“Mau beli berapa kapling Nak, untuk kamu dan anak-anak, soalnya kalau suamimu sudah bapak siapkan kaplingnya?”

Widih…serem juga nih mertua, kirain di tanya beli tanah kapling buat bikin restoran atau usaha, malah untuk persiapan tanah kubur.

Tadinya mau kujawab, “Enggak deh Pak makasih, biar bapak aja duluan” tapi itu cuma kusimpan dalam hati, tak terucapkan, aku menyayangi mertuaku itu.

“ emmmm…terserah bapak saja, maunya sih, saya suami dan anak-anak ada di satu kapling”

Sebetulnya bagus juga ide mertuaku, mempersiapkan keperluan kematian dari awal, kematian itu tak berjadwal. Biarlah kemtian kita menjadi indah, jangan menjadi beban orang yang hidup; sudah kita miskin sewaktu hidup, banyak bikin susah orang lain, jadi beban subsidi buat negara, tak bisa memberikan sumbangan apa-apa terhadap bangsa, eh…matipun kita masih menyusahkan orang lain. Sungguh Terlalu…..

Perkara tanah kuburan ini mengingatkanku akan kuburan cantik yang pernah aku kunjungi. Nih foto nya…..

Kuburan ini dibangun di tebing yang tinggi dengan pemandangan laut sebagai latar belakangnya. Jalan masuknya melewati hijaunya perkebunan olive yang berkelok-kelok seperti ular tangga. Angin berhembus semilir tercium bau pohon pinus, aroma kayu dan wewangian bunga ilalang. Cahaya di pekuburan sangat terang tapi tak menyilaukan, dengan areal yang terbuka dipayungi oleh pohon besar di kanan kirinya. Terasa damai dan menyejukan….Di brosur turis di Italia, tempatini disebut sebagai surga bagi penyair dan pelukis nama daerahnya disebut Cinque Tere.

“Ayo…anak-anak jangan berlarian di situ, waktunya pulang sekarang” anak-anakku sama sekali tak merasa ‘ngeri’ karena ada di kuburan, mereka menikmati kesunyian yang indah dan pemandangan yang sempurna untuk tempat beristirahat bagi jiwa-jiwa yang tenang.

Campaign: Mari menanam satu pohon saja sehari….

Salam Rindu Dari Semak Belukar Afrika

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun