Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Sedia Pawang Sebelum Hujan

25 Januari 2014   01:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan memang salah satu karunia dan rahmat dari Tuhan. Sebagai para hamba-Nya yang taat dan beriman, tentu saja kita wajib mensyukurinya. Namun di sisi lain, Tuhan melalui rasul-Nya juga mengajarkan bahwa segala sesuatu akan menjadi nikmat atau terasa nikmat dalam kadar dan jumlah yang pas, tidak kurang maupun tidak lebih. Sesuatu yang tidak pas, alias kurang maupun berlebihan, tentu akan membawa kemudharatan, bahkan bencana yang menyengsarakan kehidupan manusia. Demikian halnya dengan air yang berlebihan dapat menimbulkan bencana banjir bandhang yang sangat mengerikan bagi manusia.

Manusia memang makhluk hidup yang memiliki ketergantungan terhadap air. Bahkan bagian terbesar sel penyusun tubuh manusia juga terdiri atas air. Jikalau manusia tanpa asupan makanan masih bisa bertahan hidup selama beberapa minggu, namun tanpa air manusia hanya bisa bertahan hidup dalam hitungan hari atau jam saja. Air dibutuhkan tidak saja untuk kebutuhan minum dan makan, air juga dipergunakan untuk mencuci, ngepel, menyiram tanaman, mengairi sawah, hingga proses industri dan membangkitkan listrik. Maka tidaklah mengherankan jika lebih dari dua per tiga permukaan bumi diselimuti dengan air. Tuhan memang sangat adil dan bermurah hati terhadap setiap makhluk-Nya.

Secara alamiah, semestinya sebagaimana sunatullah yang telah ditetapkan-Nya, jumlah air di alam semesta ini senantiasa sama dalam tata keseimbangannya. Meskipun menjalani siklus yang kompleks, air di atas langit, air di permukaan bumi, hingga air di dalam perut bumi banyaknya senantiasa sama. Ketika air turun dari langit sebagai hujan, sesungguhnya Tuhan sedang melakukan proses pencucian langit dari berbagai pertikel, debu, dan segala macam polutan yang berada di dalamnya.

Ketika tiba di permukaan bumi, sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi bumi, air akan mengalir dari tempat yang lebih tinggi menuju ke tempat yang lebih rendah. Air tidak memiliki kuasa ataupun kekuatan untuk menolak ketentuan hukum alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan tersebut, karena hal itu memang sifat alamiah, sunatullah, serta penghayatan nilai keislaman yang diperankan oleh makhluk yang bernama air. Maka jika kemudian dalam gerak langkah menjalankan sunatullah, sang air dihalangi, dibendung, disumbat, bahkan dihilangkan jalur perlintasannya, air akan tetap setia mencari celah dalam rangka tetap taat kepada perintah sunatullah-Nya. Tanah resapan yang tergusur oleh bangunan manusia, alur sungai yang menyempit oleh gubug-gubug liar dan gundukan sampah yang dihasilkan dari ulah manusia, air tetap akan menerjang, maju jalan pantang mundur. Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas!

Namun dari sudut pandang manusia, air yang sebenarnya hanya sekedar menjalankan tugas untuk berjalan dari tempat yang lebih tinggi menuju tempat yang lebih rendah tersebut dikarenakan hambatan-hambatan yang “dibuat” oleh manusia sendiri, sehingga menghasilkan akumulasi gerak yang massif, oleh manusia disebut bencana banjir. Dalam rumusan sebuah neraca keseimbangan yang sangat sederhana, banjir sebenarnya adalah sebuah ketidakseimbangan akibat air yang datang pada suatu wilayah lebih besar daripada air yang pergi meninggalkan wilayah tersebut. Dengan demikian terdapat akumulasi atau penumpukan volume air yang menggenang menjadi banjir tadi.

Pada musim penghujan seperti sekarang ini, curah hujan yang tinggi tentu saja semakin memberi peluang terjadinya curahan air di permukaan bumi yang semakin tinggi. Bahkan di bulan Januari yang sering di-jarwodhosok-kan menjadi “hujan sehari-hari” ini, kita benar-benar mengalami masa-masa puncak curah hujan yang tertinggi. Sudah lebih dari dua minggu, langit seolah senantiasa ditutup dengan mega dan mendung yang senantiasa membawa curahan air hujan. Matahari seolah sedang cuti dan memilih menepi menikmati suasana sepi di balik bilik rahasianya.

BanjirHarmoni2
BanjirHarmoni2

Tidak asing di telinga dan mata kita pada hari-hari ini, berita atau kabar banjir tengah terjadi di mana-mana, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Mulai dari Jakarta dan wilayah sekitarnya, Subang, Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Demak, Kudus, Pati, Bojonegoro, Lamongan, hingga Minahasa mengalami genangan banjir yang sangat luar biasa. Rumah, pekarangan, kampung, bahkan sawah berubah wajah menjadi genangan air keruh bak kolam maha luas. Sekolah, pasar dan fasilitas umum lainnya banyak yang lumpuh dari kegiatan sehari-hari. Demikian halnya dengan sarana perhubungan dan transportasi terputus dan lumpuh total. Banjir menjadi bencana di mana-mana. Seluruh wilayah Negara prihatin, was-was, dan harus siaga siang-malam terhadap banjir. Banjir seolah menjadi bencana nasional pada waktu sekarang ini.

Pemerintah, melalui sebuah lembaga penerapan teknologinya, bahkan sempat melakukan upaya untuk menekan potensi curah hujan yang tinggi. Dengan mineral garam-garaman tertentu yang disebarkan di dalam gumpalan awan mendung diharapkan jutaan kristal air akan terurai secara molekuler sehingga proses kondensasi tidak berlangsung dan menghasilkan curahan air hujan. Ibarat nguyahi segara asin, tindakan upaya tersebut menurut pendapat saya justru menyiratkan sikap juwama manusia yang melawan terhadap garis takdirnya. Alih-alih melihat sebab musabab banjir yang sesungguhnya diakibatkan oleh polah tingkah manusia yang membabat habis hutan-hutannya, melakukan alih fungsi lahan secara sembrono, hingga perilaku membuang sampah yang sembarangan, manusia seolah senantiasa mencari kambing hitam dan pembenaran bahwa alamlah yang murka dan tidak bersahabat lagi dengan manusia. Nyatanya upaya menghambat hujan tersebut sama sekali tidak efektif atau bisa dibilang gagal total, dan hanya menghabiskan banyak uang rakyat.

Sebelum melakukan upaya berteknologi canggih yang super mahal, nampaknya pemerintah kita telah melupakan aset berharga yang dimiliki bangsa ini dalam mengelola kejadian hujan. Meskipun pepatah kita mengatakan sedia payung sebelum hujan untuk menyatakan sebuah usaha persiapan terhadap segala kemungkinan apapun yang akan dihadapi manusia, tetapi kenapa pemerintah justru tidak mempersiapkan pawang sebelum hujan untuk mengantisipasi banjir di awal tahun ini? Bukankah kita memiliki ribuan pawang hujan yang sangat akurat kinerjanya dalam memindahkan awan sehingga sebuah acara bisa terhindar dari curahan hujan? Akh, pemerintah mana mau percaya dengan pemikiran saya yang irasional bin ndeso ini! Ampun pemrintah!

Lor Kedhaton, 24 Januari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun