Jakarta -- Proyek besar Banjir Kanal Timur (BKT) kembali mencuri perhatian publik, bukan hanya karena perannya sebagai pengendali banjir, tetapi juga lantaran potensi ekonominya yang belum tergarap.
Budi Mulyawan, Ketua Dewan Pembina Jaya Center Foundation (Pendiri Yayasan Jakarta Menyala Center), menyampaikan usulan agar BKT diubah menjadi pusat kuliner modern (branded) multifungsi yang ramah lingkungan, dapat menggerakkan ekonomi, memberdayakan UMKM, sekaligus menjadi ikon baru bagi Jakarta.
"BKT adalah lahan super mahal yang sampai hari ini lebih banyak dibiarkan tidur. Seharusnya, Pemprov DKI Jakarta menjadikannya pusat aktivitas ekonomi yang multifungsi, ramah lingkungan, sekaligus bisa menjadi warisan berharga bagi gubernur yang berani mengeksekusi ide besar ini," kata Budi Mulyawan.
BKT dibangun sebagai salah satu proyek strategis untuk mengatasi banjir di Jakarta. Kanal ini membentang sepanjang 23,5 kilometer dengan lebar antara 100 hingga 300 meter, melintasi 13 kelurahan di Jakarta Timur hingga Jakarta Utara.
Tujuan awalnya adalah menampung dan mengalirkan kelebihan debit air dari kawasan Jakarta Timur serta sebagian Jakarta Selatan menuju laut, sehingga dapat mengurangi potensi banjir di pusat kota.
Namun, di balik fungsi vitalnya, BKT juga menyimpan fakta menarik. Proyek ini menelan biaya sekitar Rp4,9 triliun, dengan rincian Rp2,4 triliun untuk pembebasan lahan seluas 405,28 hektare, dan Rp2,5 triliun untuk pembangunan fisik.
Tidak berhenti di situ, setiap tahun pemerintah masih harus mengalokasikan dana puluhan hingga ratusan miliar rupiah untuk biaya operasional dan pemeliharaan.
Dengan investasi sebesar itu, BKT sesungguhnya merupakan aset publik yang sangat mahal. Sayangnya, hingga kini pemanfaatannya di luar fungsi teknis banjir relatif minim.
Area di sekitar BKT sebagian besar hanya menjadi jalur kosong, ruang terbuka yang belum tertata, atau bahkan sekadar tempat rekreasi informal tanpa kontribusi signifikan bagi ekonomi kota.
Melihat kondisi tersebut, Budi Mulyawan mengajukan gagasan besar: menjadikan BKT sebagai pusat kuliner ramah lingkungan.
Menurutnya, pengembangan ini akan menghadirkan wajah baru Jakarta, memberi nilai tambah ekonomi, sekaligus menyediakan ruang publik produktif bagi warga.
"Bayangkan jika di sepanjang BKT (diatas saluran air mengalir/system tumpang  sari) berdiri pusat kuliner yang terintegrasi. Tidak hanya restoran dan kafe modern, tetapi juga diselingi kios-kios UMKM yang menyajikan makanan khas daerah. Kanal ini bisa hidup, bukan sekadar berfungsi sebagai saluran air, melainkan sebagai pusat interaksi masyarakat," ujar Budi.
Ia menekankan bahwa konsep tersebut tidak berhenti pada aspek ekonomi, melainkan juga sosial. Pusat kuliner dapat menjadi ruang aman bagi anak muda untuk berkegiatan positif, wadah interaksi antarwarga, sekaligus sarana memperkuat identitas budaya Jakarta sebagai kota global yang tetap mengakar pada kearifan lokal.
Budi menjelaskan, setidaknya ada beberapa manfaat berlapis jika BKT dikembangkan sebagai pusat kuliner. Pertama, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Kedua, memperkuat UMKM dari hulu hingga hilir, mulai dari petani, pemasok bahan baku, pedagang kecil, hingga jaringan usaha kuliner modern. Ketiga, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui aktivitas ekonomi resmi yang tertata.
Selain itu, BKT juga bisa menjadi instrumen untuk mengurangi ekses negatif kota besar. Kawasan kanal yang tertata akan mencegah munculnya praktik-praktik ilegal seperti pemanfaatan liar lahan kosong.
Dengan adanya kegiatan ekonomi resmi, remaja dan anak muda juga akan memiliki alternatif ruang interaksi yang lebih sehat dan produktif.
"BKT bisa menjadi jawaban untuk kebutuhan ruang publik produktif. Tidak sekadar ruang terbuka, tetapi pusat aktivitas kreatif masyarakat yang menghasilkan. Kalau ini terwujud, Jakarta akan punya ikon baru yang membanggakan," tegasnya.
Gagasan Budi tidak berhenti di kuliner. Ia juga menilai BKT sangat potensial dikembangkan sebagai jalur transportasi air berbasis wisata. Kanal yang panjang dan lebar memungkinkan penggunaan perahu ramah lingkungan sebagai moda transportasi sekaligus atraksi wisata.
Setiap titik pemberhentian dapat dikombinasikan dengan kios UMKM, taman kota, dan pusat rekreasi keluarga. Dengan begitu, BKT akan memiliki fungsi ganda yaitu tetap menjalankan tugasnya sebagai pengendali banjir, sekaligus menjadi koridor ekonomi dan wisata baru.
"Bayangkan BKT bukan sekadar kanal, tapi juga jalur wisata air dengan pusat kuliner di setiap sisinya. Itu akan menjadi ikon baru Jakarta yang mendunia, seperti Clarke Quay di Singapura atau Sungai Cheonggyecheon di Seoul," tambah Budi.
Konsep pusat kuliner BKT juga menempatkan UMKM sebagai tulang punggung utama. Budi menekankan bahwa skema kemitraan bisa diatur agar UMKM lokal mendapatkan tempat strategis. Misalnya, warung kopi tradisional bisa berdampingan dengan kafe internasional, atau jajanan pasar disandingkan dengan restoran modern.
Dengan pola ini, UMKM tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi justru bagian integral dari ekosistem kuliner BKT. Hal ini akan membuka peluang peningkatan pendapatan masyarakat sekaligus memperkuat identitas kuliner khas Jakarta.
"UMKM harus naik kelas. Di BKT, mereka bisa punya panggung besar. Bukan hanya jualan di gang sempit, tetapi tampil dalam konsep modern yang menarik, tetap menjaga kualitas dan identitas lokal," katanya.
Budi juga menilai pengembangan BKT tidak harus sepenuhnya membebani APBD. Pemprov DKI bisa membuka peluang kerja sama dengan pihak swasta melalui skema investasi jangka panjang. Investor dapat terlibat dalam pembangunan infrastruktur kuliner, transportasi air, hingga penyediaan energi ramah lingkungan.
Dengan keterlibatan swasta, risiko anggaran bisa ditekan, sementara pemerintah tetap memiliki kontrol dalam hal regulasi dan tata kelola. Skema ini sekaligus membuka peluang Jakarta untuk menjadi model kota kolaboratif yang mampu mengoptimalkan aset publik tanpa membebani keuangan daerah secara berlebihan.
Lebih jauh, Budi menekankan bahwa pengembangan BKT bisa menjadi legacy atau warisan penting bagi kepemimpinan gubernur Jakarta.
Jika ide ini berhasil diwujudkan, maka gubernur yang berani mengambil langkah tersebut akan dikenang sebagai pemimpin visioner yang mampu mengubah kanal pengendali banjir menjadi ikon ekonomi dan budaya baru.
"Seorang gubernur bisa meninggalkan warisan berharga lewat pembangunan BKT. Tidak hanya tercatat dalam sejarah karena mengelola banjir, tetapi juga karena menghadirkan ikon kota yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat," jelas Budi.
Budi juga menyinggung bahwa banyak kota besar dunia berhasil mengubah kanal atau sungai menjadi pusat aktivitas ekonomi. Sungai Cheonggyecheon di Seoul, misalnya, disulap menjadi ruang publik yang memadukan fungsi ekologi dan rekreasi, menarik jutaan wisatawan setiap tahun.
Sementara Clarke Quay di Singapura menjadi destinasi kuliner dan hiburan kelas dunia yang tetap mempertahankan karakter sungai sebagai elemen utama.
"Jakarta tidak kalah. Kita punya BKT yang panjang, lebar, dan mahal. Tinggal bagaimana keberanian pemerintah menjadikannya proyek unggulan. Kalau berhasil, dampaknya akan besar sekali," ujarnya.
Budi menegaskan bahwa usulan ini bukan sekadar ide utopis, melainkan bentuk kepedulian nyata sebagai warga Jakarta.
Melalui Jaya Center Foundation  (Yayasan Jakarta Menyala Center), ia berharap Pemprov DKI Jakarta membuka ruang dialog untuk membahas konsep tersebut lebih lanjut.
"Jaya Center Foundation mengusulkan konsep ini bukan sekadar ide, tetapi bentuk kepedulian, tanggung jawab, dan partisipasi warga Jakarta. BKT harus bermanfaat, punya nilai tambah, dan membanggakan warganya," tegasnya.
Dengan nilai investasi triliunan rupiah dan luas lahan yang tak ternilai, BKT sejatinya merupakan aset yang tidak boleh dibiarkan tidur. Jika berhasil dikembangkan, kanal ini bukan hanya akan menjadi solusi banjir, tetapi juga pusat kuliner, ruang publik kreatif, jalur wisata air, dan ikon baru Jakarta yang mendunia.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI