Mohon tunggu...
Sandro Balawangak
Sandro Balawangak Mohon Tunggu... lainnya -

menulis bukan sekedar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menghitung Ujung Jari di Hayam Wuruk

2 Maret 2013   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:27 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1362219164396421571

Kisah pelukis ujung jari yang kemudian membranding jadi lukisan sidik jari masih panjang. Kisahhnya terus mengalir. Setiap kejadian direkam dengan jejak yang kian jelas oleh sang pemilik. Ngurah Gede Pemecutan. Bahwa memiliki museum sendiri untuk menyimpan kisah hidupnya adalah cita-citanya sejak dirinya masih sekolah. Dan benar. Uang hasil tabungan dan pameran tunggal di Surabaya 1969, Ngurah Pemecutan membeli sebidang tanah di bilangan Hayam Wuruk seluas 1792 m2. Dia memilih tanah ini karena saat itu ada sebuah gubuk pelukis namanya Bambang Sugeng, berukuran 3 x 6, tempat para pelukis handal zaman itu-sebut saja, Affandi, Rusli dan Wayan Kaya melukis. Dia membeli tanah persis dibelakang gubuk itu. dengan harapan suatu saat dia bisa melukis bersama dengan mereka. Setahun kemudian 1970, dia mulai membangun gubuk miliknya. Semacam studio mini tempat dia melukis. Ukurannya tidak besar saat itu. Hanya seluas 5 x 20 m2 berlantai tanah. Berdinding gedeg. Secara bertahap Ngurah Pemecutan memnbangun gubugnya ini. cita-citanya adalah museum. Dari dinging gedeg, pada tahun 1974 s/d 1975 dindiung gedeg diganti dengan tembok. Sementara gedeg yang tadinya dipakai untuk didinging beralih fungsi menja di plafon. “Semua ini saya bangun dari kerja keras dan keringat saya. Semuanya saya lakukan karena prinsip sudah kuat. Saya harus bandel sepertti kata konsul Amerika, Lukacini dan menteri itu. dan secara bertahap melakukan perbaikan dari tahun ke tahun,”kisahnya. Perjuangan panjang Ngurah Gede Pemecutan terwujud pada tahun 1993 ketika gedung museumnya rampung berdiri. Puluhan tahunn memang sejak tahun 1969 sampai dengan 1993. Waktu yang panjang untuk mewujudkan cita-cita. Membangun gedung museum pribadi. Museum inni akhirnya diresmikan pada tahun 1995 setelah pada tahun 1994 mendapat pengakuan dari menteri pendidikan dan kebudayaan RI. Tujuan museum ini awalnya hanya untuk menyimpan hasil karyanya. Hasil lukisan ujung jari. Dan pemberian nama museum sidik jaripun tak lalah menarik. Serba kebetulan. Tidak ada perencanaan. Pasalnya, nama sidik jari muncul secara tiba-tiba saat dirinya memasang papan nama di depan gedung tersebut. Papan nama yang belum ada tulisan. saat papan nama sudah terpasang, tiba-tiba muncul nama Sidik Jari. “Tiba-tiba saja muncul. Dan saya langsung menulis nama museum ini dengan nama sidik jari di papan itu,” ungkapnya. Ternyata ada filosofinya tersendiri dibalik penamaan museum ini sebagai Museum Sidik Jari yakni sangat berkaitan dengan cara yang dipakai ketika membuat tulisan dimana ujung jari diolesi oleh aneka ragam cat sesuai dengan kepentingan lukisan yang bersumber dari imajinasi pelukisnya. Cocok dengan corak lukisannya. Saat Ngurah Pemecutan mengajak masuk ke ruangan tempat dia biasa melukis terpampang sekian banyakn lukisan dengan berbagai ukuran. Sesuai namanya, museum ini menyimpan lukisan yang hampir semuanya dibuat dengan menggunakan ujung jari. Maka, tak heran kalau sekilas yang tampak kanvas itu hanya diisi oleh bulatan-bulatan kecil. Untuk melihat objek lukisan, perlu diperhatikan lagi dengan saksama. Seperti lukisan berjudul Tari Baris yang terdapat di sudut ruang. Di dalamnya, tampak seorang wanita berkostum adat Bali sedang menari dengan kedua belah tangan yang terbuka. Lalu, ada efek bulatan-bulatan kecil di mahkotanya yang berwarna putih dan sepanjang kostum. Efek yang sama, lebih kentara lagi, pada lukisan yang dipajang di ruang berikutnya. [caption id="attachment_246520" align="alignleft" width="480" caption="Ngurah Gede Pemecutan"][/caption] Hampir semua tampak penuh dengan bulatan-bulatan kecil. Dari mulai judulnya Aquarium, Ke Pura, Tari Legong, Penari Janger, Bunga Lely, dan Jalang di Kampung. Diperkirakan ada sekitar dua ratusan karya yang dipajang di tiga ruang terpisah. Koleksi yang dipamer saat itu baru sebagian dari seluruh karya yang sudah dihasilkan oleh Ngurah Gede. Diperkirakan dia sudah membuat lebih dari 600 lukisan. Tiga ruang tempat karya-karyanya dipamerkan mengurut proses kreatifnya, dari tahun 1954 hingga 2000-an. Di ruang pertama, terdapat karya awal yang dibuat oleh Ngurah saat masih duduk di bangku SMP dan SMA, diantaranya lukisan binatang dengan tinta cina dan pena di atas kertas, lalu lukisan bunga-bunga dengan cat air. Beranjak lebih jauh, ada lukisan potret diri, naturalis dan impresionis yang cukup mengesankan. Masuk ke dua ruang berikutnya barulah hadir lukisan dengan sidik jari yang jadi khas sang pelukis yang kemudian dipertahankan sampai sekarang. Lukisan Tari Baris, yang dibuat tahun 1967 disebut sebagai objek pertama saat ide lukisan dengan menggunakan ujung jari itu berawal. Ada banyak ragam tema yang menjadi bahan dan objek lukis. Selain dominasi wanita, ada juga lanskap, tari, dan kehidupan sosial. Dari semua lukisan yang ada, efek bulatan dan pewarnaan menjadi yang paling mencolok. Lukisan-lukisan itu tampak beda dan memiliki ciri khas tersendiri yang berkesan dan menempel di ingatan. Khusus di ruang tiga, selain lukisan, juga terdapat sejumlah karya Ngurah berupa kerajinan tangan. Semuanya dipajang di sebuah etalase kaca yang beragam jenisnya. Dari mulai mainan anak-anak, cermin, hingga barang kerajinan yang dibuat dari papan tripleks dan keramik Bali yang dilukis. Dari semua lukisan yang ada, ada lukisan Peperangan di Puri Pemecutan. Lukisannya besar, dan banyak detilnya. Menceritakan perang yang terjadi di Puri Pemecutan (sampai sekarang, Puri nya masih ada, dan lokasinya di tikungan antara jalan Hasanuddin menuju Thamrin, sebelah kanan jalan). Namanya perang, dilukisan ini terlihat banyak Pasukan dari Puri, serdadu-serdadu Belanda, juga ada kisah penyelamatan bayi-bayi anggota puri Pemecutan. Lukisan-lukisan ini, baru dapat dinikmati kalau dilihat dari jarak yang agak jauh. Kalau dilihat dari dekat, yang kelihatan cuma bulatan sidik jari dengan warna. Ketika disinggung soal fungsi lain dari museum ini, Ngurah mengatakan dirinya semakin rentah. Sudah tidak kuat lagi melukis seperti zaman dahulu. Dirinya memiliki cita-cita menjadikan museum ini sebagai tempat dia menularkan ilmunya. “Sampai dengan saat ini sudah banyak orang yang datang dan belajar kepada saya. Saya memang ingin mentransfer ilmu saya kepada siapapun tetapi dari semua yang datang tidak satupun yang berhasil. Ada juga dari Jepang.Suriname dan Amerika. Mereka datang belajar disini. Tetapi tidak satupun yang berhasil menguasainya. Termasuk sekitar 40 mahasiswa dari ISI Denpasar,” kilahnya. Umurnya sudah uzur. tetapi semangatnya masih tetap membarah.ingin memberi lebih lagi dalam hidupnya. Tak pelak tahun 2012 ini Museum sidik jari ini mengalami renovasi besar-besaran. Thema renovasi muse mini adalah mendidikan mencintai keluarga melalui pemahaman akan fungsi dan tugas dalam keluarga. Sehingga museum ini dirancang dalam tiga pola. Pola mendidik anak-anak. Mendidik Ibu. Mendidik ayah. Selain itu, ketikla hendak mengunjungi Museum sidik Jari akan ditemukan rupa-rupa bunga. Juga ada perpustakaan yang bisa dibeli buku-bukunya namanya Toga Mas yang dibangun sartru areal dengan Museum bekas bangunan Bambang Sugeng dahulu. Perjalanan dan hasil karya Ngurah Pemecutan ini akhirnya mendapat pengakuan rekor Muri, pada Juli 2012 mendapat penghargaan sebagai pelopor melukis dengan teknik sidik jari juga sebagai kolektor sidik jari terbanyak 1.574 sidik jari pelukis sendiri. Disodok pertanyaan bagaimana menghitung jumlah sidik jari yang dihasilkan, pelukis yang sudah menggelar pameran sebanyak 25 kali ini bertutur, setiap 4 cm terdapat 9 sidik jari. saat ini sudah sekitar 600 lukisan. “Dihitung saja jumlahnya berapa,” ungkapnya seraya meminta kepada semua masyarakat yang ingin belajar melukis dengan teknik sidik jari, atau sekedar melsncong mencari inspirasi maka Museum Sidik dibuka untuk umum. “Museum ini memang menyimpan kisah perjalanan saya sebagai pribadi. Sebagai pelukis. Sebagai penyair. sebagai orang Bali. Dengan manajemen tunggal dibawah kendali saya sendiri. Tetapi harus museum ini bukan milik saya pribadi. Milik semua orang. Termasuk ilmu melukis saya. Bukan hanya milik saya sendiri. Milik semua orang, termasuk milik mas juga bila ingin belajar melukis dengan teknik ujung jari,” tutup Pria kelahiran 4 Juli 1936 dari keluarga Puri Pemecutan di Denpasar, ini sembari berujar disetiap goresan ujung jari yang menghasilkan sidik jari di atas kanvas beriksah tentang guratan hidupnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun