Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bila Anti "Feminis Feminis Club" Bikin Film

19 Mei 2019   11:30 Diperbarui: 19 Mei 2019   11:54 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Beberapa waktu yang lalu dunia feminisme sempat digoyang oleh hadirnya akun tandingan @indonesiatanpafeminis dengan tagline "Tubuhku Bukanlah Milikku" yang segera mendapat banyak follower. 

Kehadiran akun ini tidak sampai lama menimbulkan kehebohan tetapi bukan berarti hilang, perbedaan pendapat yang berseberangan dalam dunia feminisme masih tetap ada, sangat kental dan saya yakin tidak akan melebur dalam waktu dekat.

Saya berusaha menyelami apa yang diaspirasikan oleh penentang feminisme ini. Saya bukan aktivis perempuan, juga tidak pernah menganggap diri saya sebagai feminis. 

Saya  akui saya sudah terlalu diracuni oleh pikiran patriarkis seumur hidup saya sehingga kurang pas rasanya bila saya menyebut diri saya feminis karena masih banyak sekali pemikiran saya yang tidak saya sadari sebenarnya adalah pikiran yang patriarkis.

Saya sampai pada kesadaran ini ketika minggu lalu saya menonton film The Long Shot. Saya tertarik menonton film ini karena dalam trailernya film ini mengangkat kisah tentang perempuan berprestasi di kancah politik Amerika Serikat yang terkenal sangat patriarkis. 

Film ini sangat segar dengan banyaknya nuansa komedi yang dihadirkan oleh Seth Rogen sebagai Fred Larsky. Juga kecantikan Charlize Theron, idola saya, sebagai Charlotte Field membuat saya sangat menikmati film ini. Saya keluar bioskop dengan hati riang, bukan hanya terhibur tetapi juga merasa terinspirasi.

The Long Shot bercerita tentang Charlotte Field, seorang aktivis lingkungan yang ambisius dalam upayanya mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat perempuan yang pertama sepanjang sejarah. Di tengah proses ini, dia bertemu dengan Fred Larsky, seorang jurnalis idealis yang juga adalah teman masa kecil Charlotte. 

Charlotte kemudian merekrut Fred untuk bekerja sebagai penulis pidatonya agar bisa membangun image yang baik demi pencalonan dirinya. 

Kerjasama professional segera berubah menjadi kisah cinta yang ditentang oleh banyak pihak karena Fred, bila menjadi kekasih Charlotte, akan menjatuhkan kesan baik yang selama ini sudah dibangun oleh Charlotte. Charlotte harus menentukan pilihan dalam dilema ini.

Mudah bagi saya untuk segera terbuai menganggap ini adalah film feminis, film yang mengakui keberdayaan dan prestasi perempuan, membuka kemungkinan baru mengenai pemimpin perempuan, membiarkan perempuan tampil sebagai tokoh utama. 

Saya baru menyadari belakangan bahwa film ini sejatinya hanyalah kamuflase, membuat feminis setengah hati seperti saya merasa sudah cukup puas dengan ruang dan peluang yang diberikan kepada perempuan. Dan sebagai perempuan, saya seharusnya merasa lebih tersinggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun