Study tour seringkali dipersepsi hanya sebagai momen rekreasi: siswa berkumpul, berfoto, dan pulang dengan oleh-oleh. Namun, seiring kebutuhan pendidikan yang semakin menuntut keterampilan abad 21, sekolah harus bertanya: mengapa pengalaman keluar kelas tidak bisa menjadi ruang belajar yang lebih bermakna? Study Tour 2.0 hadir sebagai jawaban praktis: bukan sekadar jalan-jalan, melainkan pengalaman pembelajaran berbasis experiential education yang mengkombinasikan observasi, analisis, refleksi bermakna, dan aksi nyata.
Bukan Larangan tetapi Pembenahan Tata Kelola yang Lebih Baik
Artikel ini saya buat terpicu dari pelarangan study tour oleh beberapa pemerintah daerah belakangan ini. Alasan dari sisi biaya adalah biaya yang terlalu tinggi sehingga membebani orang tua murid serta adanya kekhawatiran tentang praktik bisnis agen wisata yang lebih menguatamakan keuntungan dibanding manfaat pendidikan bagi siswa. Selain itu muncul juga isu risiko keselamatan, dengan peristiwa kecelakaan bus yang membawa siswa karyawisata yang bisa jadi karena kurangnya pengawasan tata kelola kegiatan tersebut baik dari pihak sekolah maupun orang tua murid.
Dengan pelarangan ini tentunya muncul dampak yang perlu kita cermati, selain dari menurunnya tingkat kunjungan ke destinasi wisata, yang perlu benar-benar kita pertimbangkan adalah menyempitnya ruang belajar khususnya peningkatan wawasan siswa melalui study tour.
Bukan larangan yang seharusnya menjadi solusi utama, melainkan pembenahan tata kelola study tour itu sendiri. Kegiatan ini semestinya dirancang dengan mengedepankan keselamatan siswa, baik secara fisik maupun emosional, sekaligus memastikan aspek pembelajaran tetap menjadi tujuan utama. Dengan manajemen yang tepat, study tour dapat menjadi sarana penguatan karakter, keterampilan sosial, dan wawasan peserta didik melalui pengalaman langsung yang bermakna.
Peran Study Tour dalam Pengembangan Softskill Abad 21
Study tour memegang peranan penting dalam pendidikan dengan memberikan peluang pembelajaran berbasis pengalaman yang memperkaya pemahaman, motivasi, dan pengembangan keterampilan hidup esensial siswa. Kegiatan ini menjembatani kesenjangan antara pengetahuan teoretis dan penerapan praktis, membangun keterhubungan yang lebih mendalam dengan materi pembelajaran, serta mendorong keterlibatan aktif.Â
1. Berpikir Kritis: Study tour mendorong siswa untuk menganalisis informasi, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan yang tepat berdasarkan pengamatan serta pengalaman mereka.
2. Kolaborasi: Kegiatan dan proyek kelompok selama study tour menumbuhkan kerja sama tim dan kolaborasi antarsiswa.
3. Kemampuan Beradaptasi dan Pemecahan Masalah: Siswa belajar menyesuaikan diri dengan situasi baru, mengatasi tantangan, dan mengembangkan keterampilan memecahkan masalah selama study tour.
Aplikasi Experiential Education; Dari pengalaman ke pembelajaran yang lebih bermakna
Experiential education menekankan bahwa pengalaman aktif adalah sumber utama pembelajaran. Dengan kata lain, siswa tidak hanya menerima informasi secara pasif; mereka ikut merancang, melakukan, dan menganalisis pengalaman itu sendiri. Selain itu, experiential education mendorong keterlibatan emosi dan kognisi secara simultan---oleh karena itu hasil belajarnya cenderung lebih tahan lama. Dengan pendekatan ini, study tour berubah fungsi: dari hiburan menjadi laboratorium pembelajaran lintas-kurikulum.
Lebih jauh lagi, experiential education memberi kesempatan bagi siswa untuk menguji hipotesis, belajar dari kegagalan kecil, dan merancang solusi yang relevan secara lokal. Misalnya, pada kunjungan ke kawasan konservasi, siswa tidak hanya melihat flora-fauna; mereka melakukan inventarisasi, menganalisis penyebab penurunan populasi, dan merumuskan rekomendasi tindakan sederhana. Dengan demikian, pembelajaran menjadi kontekstual dan terukur.