Banyak orang tua merasa heran dan khawatir ketika anak yang cerdas justru mengalami penurunan prestasi di sekolah. Salah satu penyebab tersembunyi yang jarang disadari adalah gangguan konsentrasi akibat alergi makanan dan gangguan saluran cerna yang memengaruhi sistem saraf pusat melalui jalur gut-brain axis. Artikel ini membahas secara sistematis tentang gejala yang sering terjadi, peran gangguan alergi makanan terhadap fungsi otak anak, serta pentingnya penanganan yang tepat melalui observasi dan uji oral food challenge. Disajikan dengan bahasa santai namun berbasis data ilmiah, artikel ini mengajak orang tua untuk lebih memahami anak dan menggali solusi dari sisi kesehatan yang mungkin selama ini terabaikan.
Punya anak cerdas adalah anugerah luar biasa. Tapi bagaimana jika ternyata si kecil sering mengeluh sulit fokus, malas sekolah, bahkan nilainya terus menurun? Banyak orang tua langsung berpikir bahwa anak kurang belajar atau terlalu banyak bermain. Padahal, bisa jadi akar masalahnya lebih dalam: gangguan konsentrasi yang berhubungan dengan alergi makanan dan masalah pencernaan. Kondisi ini sering tersembunyi di balik sikap anak yang tampak sehat dan aktif.
Ilmu kedokteran modern kini mengungkap hubungan kuat antara otak dan usus melalui jalur komunikasi yang dikenal sebagai gut-brain axis. Jika usus terganggu, otak pun ikut terdampak. Dan salah satu pemicu gangguan usus adalah alergi makanan yang tidak terdeteksi. Sayangnya, banyak anak mengalami ini tanpa disadari, dan prestasi akademik pun jadi korban.
Tanda dan Gejala Gangguan Konsentrasi
Anak yang mengalami gangguan konsentrasi biasanya menunjukkan tanda-tanda seperti kesulitan menyelesaikan tugas, mengerjakan soal ujiannsekolah dikeawati karena buru buru, tidak bisa menyelesaikan soal yang mudah padahal di rumah bisa, mudah terdistraksi, sering melamun, atau terlihat bingung saat mengikuti pelajaran. Belajar tidak bisa lama, mudah lupa, bila dipanggil tidak langsung menoleh harus beberapa kali baru menoleh, bila diajak bicara tidak langsung klik, mudah bosan tapi hal yang disenangi bisa tekun seperti main gadget atau baca komik. Mereka mungkin juga tampak tidak mendengarkan saat diajak bicara, atau sering kehilangan barang-barang sekolah. Ini bukan karena anak malas atau bodoh, tapi otaknya sedang "berjuang" di tengah ketidakseimbangan fungsi internal tubuhnya.
Gangguan ini kerap datang dan pergi, tergantung kondisi tubuh anak, pola makan, dan faktor pemicu lainnya. Banyak orang tua baru menyadari setelah anak sering ditegur guru, mengalami penurunan nilai, atau mulai kehilangan motivasi belajar. Semua ini bisa jadi sinyal bahwa ada sesuatu yang mengganggu kerja optimal otak anak.
Anak yang mengalami gangguan konsentrasi sering juga tampak sangat aktif, sulit diam, bahkan terlihat "overaktif". Tapi di balik keaktifannya, mereka mudah tantrum, susah diatur, dan kadang sangat keras kepala. Ini bukan masalah perilaku semata, melainkan sinyal bahwa sistem saraf dan emosinya sedang tidak stabil.
Selain itu, mereka mungkin mengalami perubahan suasana hati yang ekstrem---kadang bahagia, lalu tiba-tiba marah atau menangis. Sebagian besar anak seperti ini juga memiliki kecemasan tersembunyi yang tidak selalu bisa mereka ungkapkan. Mereka cemas saat sekolah, takut tidak bisa memenuhi harapan, atau merasa tidak nyaman di lingkungan sosial.
Tanda dan Gejala Alergi Makanan pada Anak
Alergi makanan tidak selalu muncul dalam bentuk ruam atau bengkak. Pada anak, gejalanya bisa sangat halus: sering sakit perut, mual tanpa sebab, sembelit atau diare berulang, hingga perut kembung yang membuat mereka tidak nyaman belajar. Kadang anak hanya mengeluh, "Perutku nggak enak," lalu jadi rewel dan tidak fokus sepanjang hari.
Ganggguan alergi lain adalah gangguan kulit sensitif, kaki bentol dan hitam seperti digigit nyamuk, biduran, biang keringat, mudah batuk, batuk lama, asma, sesak, mudah pilek, bersin, tidur ngorok, mimisan, sakit kepala dan badan sering pegal atau nyeri kaki.
Gejala ini bisa muncul dalam hitungan jam hingga beberapa hari setelah mengonsumsi makanan tertentu. Yang membuatnya sulit dideteksi adalah karena banyak makanan yang memicu alergi tersembunyi dalam makanan olahan sehari-hari seperti susu, telur, gandum, kedelai, atau pewarna makanan. Maka dari itu, penting untuk mencermati pola makan dan gejala anak secara menyeluruh.
Gut-Brain Axis, Alergi Makanan, dan Gangguan Belajar: Hubungan yang Tak Terpisahkan
Usus kita bukan hanya tempat mencerna makanan---ia adalah "otak kedua" manusia. Jalur komunikasi antara usus dan otak, yang disebut gut-brain axis, memegang peran penting dalam kestabilan emosi, konsentrasi, dan kemampuan belajar. Jika usus terganggu, seperti akibat alergi makanan atau inflamasi, sinyal ke otak ikut terganggu.
Ketika makanan yang tidak cocok dikonsumsi, tubuh anak menghasilkan reaksi imun yang memicu peradangan di saluran cerna. Peradangan ini bisa mengubah mikrobiota usus, menyebabkan ketidakseimbangan kimia yang penting untuk fungsi otak, seperti serotonin dan dopamin. Akibatnya, anak jadi mudah cemas, sulit fokus, dan kesulitan belajar.
Penelitian Alergi Makanan dan Gangguan Pada anak
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dengan alergi makanan memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan perilaku, termasuk ADHD, gangguan kecemasan, dan gangguan tidur. Maka, menyelidiki pola makan dan fungsi usus anak bisa menjadi langkah awal yang menyelamatkan masa depan akademis dan mental anak.
Sebuah studi penting yang diterbitkan di Annals of Allergy oleh Tryphonas dan Trites (1979) mengevaluasi hubungan antara alergi makanan dan gangguan neurokognitif pada anak-anak, termasuk hiperaktivitas, kesulitan belajar, dan gangguan fungsi otak minimal. Penelitian ini melibatkan 120 anak dengan berbagai gangguan tersebut dan menggunakan uji radioallergosorbent test (RAST) untuk mengidentifikasi sensitivitas terhadap 43 jenis makanan. Hasilnya mencengangkan: 52% dari anak-anak ini memiliki alergi terhadap satu atau lebih makanan. Yang menarik, dalam kelompok anak hiperaktif dengan disabilitas belajar, ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara jumlah alergi dan skor hiperaktivitas berdasarkan penilaian guru. Hal ini menunjukkan bahwa pada sebagian anak, alergi makanan dapat memperburuk gejala hiperaktivitas dan gangguan perhatian.
Penelitian ini menjadi pijakan awal bagi konsep keterkaitan antara sistem imun, pencernaan, dan fungsi otak---sebuah prinsip dasar dari gut-brain axis. Meskipun tidak menyimpulkan hubungan sebab-akibat secara mutlak, hasil studi ini menyoroti kemungkinan adanya subkelompok anak dengan gangguan perilaku dan kognitif yang dipicu atau diperparah oleh alergi makanan. Oleh karena itu, pendekatan klinis yang mempertimbangkan evaluasi alergi---terutama pada anak dengan gangguan perhatian yang tidak responsif terhadap intervensi standar---perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari diagnosis dan manajemen menyeluruh.
Beberapa penelitian dari database PubMed juga menunjukkan adanya hubungan antara alergi makanan dan gangguan konsentrasi pada anak. Salah satu studi oleh Rowe et al. (1985) menemukan bahwa eliminasi makanan tertentu seperti susu sapi, gandum, dan pewarna makanan secara signifikan memperbaiki perilaku dan kemampuan fokus pada anak-anak dengan gangguan perilaku hiperaktif. Dalam penelitian lanjutan, anak-anak yang terpapar kembali terhadap makanan yang dihindari menunjukkan peningkatan gejala hiperaktif, sulit tidur, dan gangguan atensi. Studi ini menegaskan bahwa reaksi terhadap makanan tertentu bisa memengaruhi sistem saraf pusat dan perilaku anak secara nyata.
Sebuah tinjauan sistematis oleh Egger et al. (1989) dalam The Lancet mencatat bahwa sekitar 62% anak dengan diagnosis ADHD menunjukkan perbaikan gejala setelah mengikuti diet eliminasi. Meskipun belum semua mekanisme imunopatologisnya dipahami, peran gut-brain axis menjadi fokus penting dalam penelitian terkini. Studi-studi terbaru mengaitkan perubahan mikrobiota usus akibat alergi atau intoleransi makanan dengan gangguan neurotransmitter di otak, yang akhirnya memengaruhi konsentrasi, mood, dan fungsi kognitif anak. Maka, pendekatan medis yang menyeluruh dan berbasis bukti sangat penting dalam menangani gangguan belajar yang mungkin berakar dari gangguan pencernaan atau alergi makanan.
Hindari Makanan Alergi dengan Uji Tantang Makanan (Oral Food Challenge)
Banyak orang tua langsung ingin tes alergi saat curiga anaknya punya reaksi terhadap makanan. Padahal, tes alergi seperti IgE atau tes kulit tidak selalu akurat untuk mendeteksi reaksi alergi non-IgE atau alergi saluran cerna. Solusi terbaik? Oral Food Challenge, yaitu mengeliminasi makanan yang dicurigai, lalu memperkenalkannya kembali di bawah pengawasan dokter berpengalaman.
Dengan metode ini, kita bisa mengetahui secara pasti apakah makanan tersebut memang memicu gejala. Ini juga membantu dokter membuat rencana makan yang aman, sekaligus memantau efeknya terhadap perilaku, konsentrasi, dan kesehatan anak secara keseluruhan.
Solusi Penting
Anak yang cerdas tetapi mengalami penurunan prestasi bisa jadi sedang berjuang melawan gangguan konsentrasi yang berasal dari dalam tubuhnya sendiri. Alergi makanan dan gangguan gut-brain axis merupakan salah satu penyebab tersembunyi yang sering terabaikan. Dengan pendekatan holistik dan penanganan medis yang tepat, anak bisa kembali fokus, stabil secara emosi, dan meraih potensi terbaiknya.
Penting bagi orang tua untuk lebih peka dan terbuka terhadap kemungkinan bahwa masalah belajar bukan semata karena kurang usaha atau pengaruh lingkungan, melainkan bisa juga karena faktor biologis yang dapat diatasi. Dengan cinta, perhatian, dan edukasi yang cukup, kita bisa bantu anak kita berkembang seutuhnya.
Perhatikan perubahan perilaku anak yang berulang---apakah setelah makan makanan tertentu, anak jadi rewel, sulit fokus, atau tidak enak badan? Catat dan konsultasikan dengan dokter yang berpengalaman di bidang alergi anak. Jangan terburu-buru menggunakan suplemen atau obat pemusatan perhatian tanpa menyelidiki penyebab dasarnya.
Ajak anak berdiskusi, dengarkan keluhannya tanpa menghakimi. Dukungan emosional sangat penting dalam proses pemulihan. Anak yang merasa dimengerti akan lebih mudah diajak bekerja sama menjalani pengobatan dan perubahan pola makan. Semangat, Ayah dan Bunda---kita sedang membantu masa depan seorang bintang!
Daftar PustakaÂ
Tryphonas H, Trites R. Food allergy in children with hyperactivity, learning disabilities and/or minimal brain dysfunction. Ann Allergy. 1979;42(1):22-27. PMID: 760622.
Zhou L, Chen L, Li X, Li T, Dong Z, Wang YT. Food allergy induces alteration in brain inflammatory status and cognitive impairments. Behav Brain Res. 2019 May 17;364:374-382. doi: 10.1016/j.bbr.2018.01.011. Epub 2018 Jan 12. PMID: 29339006.
Drakouli AE, Kontele I, Poulimeneas D, Saripanagiotou S, Grammatikopoulou MG, Sergentanis TN, Vassilakou T. Food Allergies and Quality of Life among School-Aged Children and Adolescents: A Systematic Review. Children (Basel). 2023 Feb 23;10(3):433. doi: 10.3390/children10030433. PMID: 36979991; PMCID: PMC10047601.
Xu G, Liu B, Yang W, Snetselaar LG, Chen M, Bao W, Strathearn L. Association of Food Allergy, Respiratory Allergy, and Skin Allergy with Attention Deficit/Hyperactivity Disorder among Children. Nutrients. 2022 Jan 21;14(3):474. doi: 10.3390/nu14030474. PMID: 35276830; PMCID: PMC8838767.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI