Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan. Telemedicine 085-77777-2765

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bom Teroris Surabaya, Rakyat Tidak Takut tetapi Berhasil Diadu Domba

13 Mei 2018   18:34 Diperbarui: 13 Mei 2018   19:01 1397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum bernapas lega setelah kasus kerusuhan Mako Brimob, tiga hari berselang Indonesia diguncang bencana lebih heboh. Bom besar meledak hampir bersamaan di tiga gereja di Surabaya. Bila dicermati berbeda dengan kerusuhan Mako Brimob yang diduga karena ketidakpuasan napi. Tampaknya kasus pengeboman gereja di Surabaya adalah murni aksi terorisme. Aksi teror tujuan utamanya membuat panik.  Tetapi media masa dan media sosial dibanjiri opini saling menyindir, saling menyalahkan dan semua pihak merasa paling benar. Teroris mungkin tidak berhasil membuat kita takut tetapi berhasil membuat kita diadu domba dan saling mengadu domba. Padahal perpecahan Indonesia akan lebih buruk dibandingkan ketakutan itu sendiri.

Bom teroris di Surabaya bukan pertama kali di Indonesia dan bukan yang terhebat di Indonesia. Bom teroris sering kali terjadi dan banyak yang lebih hebat di segala penjuru dunia. Tetapi seperti biasa sebesar apapun bom teror meledak maka kepanikan dan kontroversipun semakin banyak diperdebatkan. Aksi terorisme adalah salah satu kejahatan extraordinary yang tidak mudah mengatasinya. 

Sehingga banyak sekali faktor dan penyebab mengapa aksi itu terus terjadi. Karena rumitnya kejahatan itu maka apapapun yang ada di bumi Indonesia ini bisa dianggap sebagai penyebab teroris. Sehingga bila mencari penyebab dan mencari siapa yang salah, maka sepintar apapun atau sehebat siapapun dia, akan sulit bisa memastikan penyebab tunggal kejahatan itu. Bahkan sampai saat ini modus utama terorisme tidak pernah dapat diidentifikasi dengan jelas. Sehingga bila hal itu didiskusikan oleh berbagai disiplin ilmu dan siapapun pakarnya pasti akan terjadi perdebatan yang tidak akan pernah selesai.

Multifaktorial

Kalau tahu penyebab utamanya maka terorisme sejak dari dulu dengan mudah bisa dihilangkan dari muka bumi. Saat seorang ahli sosial katakan kemiskinan penyebabnya, tetapi mengapa pelaku teror juga banyak orang yang berduit. Ketika seorang akademisi memvonis kebodohan sebagai penyebab, tetapi mengapa seorang doktor seperti Ashari bisa jadi gembong teroris. 

Ketika seorang ahli agama mengatakan bahwa kedangkalan agama sebagai penyebab, tetapi mengapa seorang pintar agama bisa mendukung terorisme. Ketika seorang pakar intelejen mengatakan bahwa agama tertentu penyebab teroris dan mengatakan negera tertentu sumber terorisme, tetapi Vladimir Putinpun mengatakan "Terrorism has no nationality or religion".

Melihat sangat kompleksnya masalah terorisme sehingga tidaklah bijak bila kita saling menyalahkan dan saling merasa paling benar dalam tragedi dunia ini. Terorisme adalah dendam dan kebencian dengan latar belakang multifaktorial di tengah dominasi egoisme manusia. Benazir Bhuttopun menyebutkan bahwa "Democracy is necessary to peace and to undermining the forces of terrorism". 

Pakar terorispun mengatakan bahwa RUU Teroris dapat mencegah gangguan teroris di masa depan. Tetapi ahli lain juga pesimis karena terorisme itu adalah kejahatan extraordinary yang sangat kompleks. Bahkan, Amerika yang mengaku dan dianggap negara super hebat dalam mengatasi teroris saja sempat kecolongan dan tercoreng dengan aksi terorisme terbesar sepanjang masa yaitu aksi WTC, 9 September.

Diadudomba

Tragisnya, ketika semua berteriak kami tidak takut tetapi dilain pihak sebagian pihak baik di media masa atau media sosial tidak disadari dipenuhi sikap saling menyalahkan dan merasa paling benar. Mereka saling menyindir dan saling membela diri, padahal mereka bersaudara dan lupa musuh bahwa teroris adalah musuh bersama. Media masa nasional bahkan ada yang menyindir agama tertentu dengan menulis : "Wahai teroris, dimana alamat surgamu ?" Ahli terorisme bahkan ada yang mengatakan bahwa aksi bela Islam belakangan ini memicu terorisme. 

Ada juga yang berkomentar, "Polisi tidak tegas terhadap teroris sehingga teroris semakin subur". Pihak lain ada yang mengatakan bahwa "Bom Surabaya settingan atau skenario untuk pengalihan isu". Saat konferensi pers ada juga pihak yang menyalahkan ada media televisi yang tidak ketat memilih penceramah agama sehingga memprovokasi teroris. Ada juga badut politik yang mengail di air keruh dengan menulis "PKS, Gerindra dan FPI tidak pernah mengutuk teroris, sehingga sekarang kita tahu siapa mereka". Sementara yangnlain menulis kalau HTI tidak dilarang, maka teroris lebih gila lagi. Bahkan ada yang berani menulis. "Seharusnya polisi dan pemerintah bertindak tegas awasi semua kantor PKS di Jawa Timur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun