Mohon tunggu...
Sanaha Purba
Sanaha Purba Mohon Tunggu... Penulis

Selamat datang di kolom Yohanes Sanaha Purba, ruang inspirasi bagi para pencari ilmu dan pemikir kritis. Saya adalah seorang penulis, pendidik, dan pencinta filsafat yang berkomitmen menghadirkan wawasan bernas dalam dunia filsafat, bahasa, dan edukasi. Kunjungi juga youtube saya, https://www.youtube.com/@Sanahapurba Untuk ngobrol serius, silahkan email saya di sanaha.purba@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Soren Kierkegaard | Eksistensialisme, Kecemasan dan Keberanian untuk Hidup

13 Oktober 2025   05:00 Diperbarui: 24 September 2025   15:27 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Perubahan besar sedang melanda Eropa di abad ke-19. Di tengah semua itu, lahirlah seorang pemikir dari Denmark yang kemudian dijuluki sebagai bapak eksistensialisme. Namanya adalah Sren Kierkegaard. Filsuf yang satu ini tidak menulis untuk mengejar popularitas atau sekadar memamerkan kecerdasan. Apa yang Kierkegaard lakukan adalah menyelami pertanyaan terdalam manusia tentang hidup, kebebasan, iman dan keberanian menghadapi ketidakpastian. Membaca Kierkegaard terasa seperti bercermin pada kegelisahan kita sendiri, ketika hidup tidak pernah memberikan jawaban sederhana.

Kierkegaard lahir tahun 1813 di Kopenhagen dalam keluarga yang religius. Ayahnya adalah sosok yang sangat berpengaruh dalam hidup Kierkegaard meski juga menanamkan rasa bersalah dan beban rohani yang terlalu berat pada anaknya. Sejak masih berusia dini, Kierkegaard suah kehilangan ibu dan beberapa saudaranya. Hal itumembuat Kierkegaard tumbuh dengan kesadaran yang mendalam tentang kefanaan. Hidupnya yang penuh kesunyian dan kontemplasi menjadikan dia lebih memilih untuk menulis dengan nama samaran. Seolah, dia ingin memberi ruang lebih bagi gagasan-gagasannya daripada ketenaran nama aslinya.

Salah satu sumbangan penting Kierkegaard adalah pemikirannya tentang kecemasan. Dalam karyanya yang berjudul 'The Concept of Anxiety', dia menjelaskan bahwa kecemasan bukanlah rasa takut terhadap sesuatu yang jelas, melainkan perasaan gentar terhadap kemungkinan. Manusia merasakan kecemasan karena kebebasan yang dimilikinya. Sebagai contoh, kita bebas memilih dan karena itulah kita malahan menjadi gamang. Namun menariknya, alih-alih menolak kecemasan, Kierkegaard menilai bilamana kecemasan itulah yang bisa menjadi pintu menuju kedewasaan. Bagaimana penjelasannya? Menurut Kierkegaard, hanya dengan menghadapi kecemasan, kita bisa sungguh mengerti eksistensi kita.

Kecemasan itu erat kaitannya dengan keberanian. Dalam karyanya yang berjudul 'Fear and Trembling', Kierkegaard memperkenalkan konsep 'leap of faith' atau 'lompatan iman'. Hidup, menurutnya, selalu dipenuhi ketidakpastian. Tak ada jaminan bahwa pilihan kita akan membawa hasil seperti yang kita inginkan. Namun, justru di situlah letak keberanian kita diuji. Kita membutuhkan keberanian untuk memilih, bertindak dan tetap percaya pada sesuatu yang lebih tinggi meski tak bisa dipastikan oleh akal. Iman, bagi Kierkegaard, adalah keberanian tertinggi manusia. Iman bukan sekadar kita menerima doktrin religius, melainkan lebih dari itu, kita menyerahkan diri sepenuhnya berlandaskan keyakinan yang melampaui logika.

Lebih jauh, Kierkegaard mengingatkan tentang bahaya keterasingan dalam masyarakat modern. Di balik kehidupan yang serba teratur, manusia bisa kehilangan jati dirinya. Manusia pun bisa hidup sekadar mengikuti arus tanpa mampu bertanya tentang apa makna hidup baginya. Dalam karyanya yang berjudul 'The Sickness Unto Death', dia menyebut penyakit terbesar manusia adalah tidak mengenal dirinya sendiri. Karena itu, tugas kita adalah berjuang menjadi pribadi yang otentik, bukan sekadar bayangan dari ekspektasi sosial atau tuntutan orang lain.

Religiusitas dalam paradigma Kierkegaard tidak dapat dipisahkan dari filsafatnya. Dalam karya dia yang lain berjudul 'Works of Love', dia menggambarkan cinta sejati sebagai jalan untuk mendekatkan diri kita pada Tuhan dan sesama. Cinta bukanlah sebentuk kenyamanan yang menyenangkan. Cinta adalah keberanian untuk berkorban, merendahkan hati dan memberi tanpa pamrih. Dengan cinta, manusia bisa menemukan relasi terdalam dengan yang Ilahi.

Warisan Kierkegaard tidak hanya membuka jalan bagi Sartre, Heidegger atau pemikir eksistensialis lain, tetapi juga menggugah kita hari ini. Ia mengajarkan bahwa hidup otentik memerlukan keberanian kita untuk menghadapi kecemasan. Hidup otentik juga menuntut adanya  iman yang melampaui logika dan cinta yang berakar pada pengorbanan. Kierkegaard, dengan segala keheningannya, mengingatkan bahwa kehidupan yang bermakna bukanlah yang bebas dari penderitaan, melainkan yang dijalani dengan keberanian untuk terus memilih dan bertanggung jawab pada konsekuensi pilihan bebas kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun