Bagi Aquinas, iman dan akal tidak saling meniadakan. Akal bisa membuktikan banyak hal tentang Tuhan. Meski demikian, Aquinas juga mengakui bilamana memang ada kebenaran yang hanya bisa dicapai melalui wahyu. Dengan kata lain, ada keterbatasan bagi filsafat untuk menangkap Tuhan secara utuh dan di situlah iman bekerja (Gilson, 1956:122).
Sikap Aquinas yang semacam itu sangatlah penting untuk kita pahami. Dia tidak menolak filsafat sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar teolog sezamannya. Namun, dia juga tidak menomorsatukan akal di atas iman. Kedua jalan, antara iman dan akal, itu berbeda, tetapi saling melengkapi dalam pencarian kebenaran.
Etika Kebajikan: Dari Aristoteles ke Kekristenan
Dalam bidang etika, Aquinas mengadopsi teori 'kebajikan' milik Aristoteles. Aquinas percaya bahwa kebajikan seperti keadilan, keberanian, dan kebijaksanaan bisa dibentuk lewat latihan dan kebiasaan (Aristoteles, Etika Nikomakea, 1103a). Namun, apa yang menjadikannya khas adalah dia menambahkan sentuhan teologis dalam latihannya. Hal itu bisa kita amati dari bagaimana Aquinas menetapkan tujuan akhir manusia bukan sekadar eudaimonia (kebahagiaan duniawi) seperti gagasan Aristoteles, melainkan juga kebahagiaan abadi bersama Tuhan.
Dengan begitu, etika Aquinas menjadi semacam sintesis antara kebajikan rasional Aristoteles dan kebajikan relijius. Dia memadukan kebajikan moral dengan kebajikan teologis hingga melahirkan 3 keutamaan dalam tradisi gereja Katolik, yaitu "iman, harapan, dan kasih".
Pengaruh dan Relevansi
Aquinas berkontribusi besar dalam membangun fondasi tradisi skolastik atau tradisi berpikir abad pertengahan yang berusaha menjelaskan iman secara rasional. Pengaruhnya tidak hanya terbatas pada dunia intelektual gereja Katolik, tetapi juga mewarnai filsafat Barat secara luas. Ren Descartes hingga Immanuel Kant, dua pemikir generasi selanjutnya, masih tetap bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama yang pernah dirumuskan Aquinas, terutama soal hubungan akal, iman, dan realitas (Kenny, 2014:67).
Bagi kita hari ini, Aquinas sangat tepat untuk dibaca kembali sebagai pengingat bahwa berpikir rasional tidak akan mengikis iman kita menjadi setipis 'tisu'. Sebaliknya, iman yang matang justru mengundang kita untuk berpikir lebih jernih dan sistematis.
Penutup
Thomas Aquinas mewariskan kerangka besar yang membuat filsafat dan teologi bisa berdialog tanpa harus saling menguasai atau mengalahkan. Dia menegaskan bahwa manusia tidak perlu memilih antara iman atau akal. Keduanya adalah anugerah yang, jika dijalankan bersama, mengantar kita pada pemahaman yang lebih utuh tentang kebenaran.
Daftar Pustaka