Mohon tunggu...
Samuel Edward
Samuel Edward Mohon Tunggu... Seniman - Pecinta dunia literatur, pecinta kopi, pecinta satwa khususnya anjing, pecinta alam. Dan semua itu dalam stadium 4 dan grade 4!

Tugas yang kuemban adalah membawa dan membuat mulia nama Bos-ku di mana pun aku hidup, apa pun yang aku lakukan, kepada siapa pun yang aku temui, kapan pun waktu dan kesempatannya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Urgensi "Hari Pasar Rakyat Nasional" Demi Menghidupi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika

22 Januari 2017   09:57 Diperbarui: 22 Januari 2017   10:12 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peran Pasar dalam Kehidupan, Budaya, dan Peradaban Manusia

Di sepanjang sejarah manusia, pasar memegang peran yang amat besar bagi pembentukan, pemeliharaan, dan peningkatan budaya, peradaban, dan kehidupan. Dalam dunia purba, di kerajaan-kerajaan Babilonia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi, India Kuno, dan semua kerajaan lain (termasuk yang tersebar di seluruh Nusantara), pasar bukanlah sekadar tempat menjual dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari dan beragam komoditas lainnya. Ia juga menjadi tempat utama untuk manusia berjumpa dan berinteraksi dengan sesamanya dalam skala massal.

Karena alasan itulah, pasar dijadikan tempat yang efisien dan efektif oleh pemerintah untuk menginformasikan dan menyosialisasikan semua kebijakan dan hukum yang telah dibuatnya kepada rakyatnya. Dengan alasan yang serupa, pasar pun menjadi tempat utama pula untuk memberikan dan mendapatkan pengetahuan dan pendidikan, untuk membagikan dan memperoleh informasi tentang apapun, untuk mempublikasikan dan mengenal seni dan teknologi termutakhir, untuk memberikan dan mendapatkan layanan kesehatan dan pengobatan, bahkan juga untuk menyebarkan dan mendengarkan ajaran agama dan moral.

Pasar di Era Modern dan Pascamodern

Di era modern dan pascamodern sekarang ini pun, pasar tetap memainkan peran-peran yang disebutkan di atas, meski memang hanya sebagian kecilnya saja dari keseluruhan peran tersebut. Penempatan masing-masing unsur pun sudah termodifikasi: sarana pendidikan, wadah sosialisasi kebijakan pemerintah, pusat seni dan teknologi, serta tempat keagamaan sudah tidak lagi menjadi bagian internal dari pasar itu sendiri. Namun, di Indonesia maupun di semua negara lain, kita dapat melihat, di sekitar satu pasar, dalam radius kurang dari satu kilometer, pasti terdapat paling sedikit dua dari tempat-tempat berikut ini: sekolah, kampus, tempat kursus, kantor pemerintahan (apakah itu pemerintahan tingkat kampung, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, ataupun provinsi), alun-alun (desa maupun kota), galeri seni, bioskop, gelanggang olahraga, pusat kerajinan, toko buku, perpustakaan, gedung kesenian, rumah-sakit, puskesmas/klinik/balai kesehatan, apotek, mesjid, gereja, wihara, pura, kelenteng, dan kuil.

Dengan kata lain, pasar senantiasa merupakan tempat utama untuk membuktikan hakekat manusia sebagai makhluk sosial, sekaligus menjadi ajang “kawah candradimuka” bagi kita untuk terus mengasah kepekaan sosial dan kemampuan bersosialisasi.

Karena arti dan peran yang demikian besar dari pasar inilah maka para politisi kerap memanfaatkan pasar menjadi sarana kampanye mendulang dukungan suara.

Pasar Rakyat

Di masa modern pula, pasar terbagi menjadi dua golongan: pasar tradisional dan pasar modern. Klasifikasi ini berlaku universal di semua negara. Khusus di Indonesia, kini orang mulai lebih suka mengenakan istilah “pasar rakyat” untuk pasar tradisional.

Di mata kita sebagai masyarakat, pada pasar modern relatif tidak ada hal yang mengganjal. Tetapi, berbeda halnya dengan pasar rakyat, dengan mudahnya kita menemukan masalah. Dari segi estetika dan kenyamanan, kebanyakan pasar rakyat itu kumuh, semrawut, kotor, becek, sumpek, biang kemacetan lalu-lintas, beraroma tak sedap, suram, dan bahkan gelap. Dari segi keamanan, kita sering takut pada preman, pencopet, penodong, penjambret, penipu, sampai tukang gendam (hipnotis kriminal), di samping juga juruparkir liar yang memeras kita dengan tarif yang tak masuk akal. Dari segi pelayanan, boleh dikatakan jarang kita mendapatkan pelayanan yang sungguh-sungguh ramah dari penjual maupun pihak lain yang bekerja di pasar.

Singkatnya, pasar rakyat itu kurang beradab dan kurang manusiawi. Seolah, pasar rakyat mengkhianati hakekat dari keberadaan pasar di dunia ini, yakni sebagai penopang serta pendongkrak kemanusiaan dan peradaban.

Dan hal itu akibat tidak terurusnya pasar rakyat dengan benar. Sedihnya, salah satu puncak bukti tidak terurusnya pasar rakyat terjadi baru-baru ini. Kamis, 19 Januari 2017, yang lalu, Pasar Senen, salah satu pasar rakyat tertua dan terbesar di Jakarta, bahkan di Indonesia, mengalami kebakaran yang hebat sekali.

Pencanangan “Hari Pasar Rakyat Nasional”

Barangkali, kondisi bobroknya manajemen pasar rakyat semacam itulah yang memotivasi Yayasan Danamon Peduli untuk menggagas adanya Hari Pasar Rakyat Nasional. Diharapkan, hari peringatan khusus pasar rakyat tersebut mendorong pemerintah, para pihak lain yang berkepentingan, serta masyarakat luas sendiri agar memperbaiki keberadaan pasar rakyat di seluruh Tanah-air sesegera mungkin sehingga pasar rakyat menjadi betul-betul manusiawi dan beradab.

Hari Pasar Rakyat Nasional memang dapat dijadikan momentum rutin untuk terus memacu reformasi dan revolusi pasar rakyat. Sebab, sungguh ironis, dalam hal kesetiaan terhadap asas dan hakekat eksistensi pasar dalam sejarah manusia, pasar rakyat justru kalah konsisten ketimbang pasar modern. Pasar modern sekarang tidak lagi terkesan eksklusif untuk kalangan dengan tingkat sosial dan ekonomi kuat, tak terjangkau oleh rakyat Indonesia kebanyakan yang daya belinya masih rendah.

Kita bisa buktikan, harga produk di pasar modern hampir seluruhnya sudah sama saja dengan di pasar rakyat. Sudah begitu, variasi pilihannya pun sering lebih banyak tersedia di pasar modern ketimbang di pasar rakyat yang berdekatan. Dengan tingkat kenyamanan, pelayanan, keamanan, dan akomodasi yang jauh lebih memadai, jelas saja, rakyat kelas ekonomi menengah-ke-bawah pun mulai banyak yang lebih memilih berbelanja di pasar modern, apalagi hitung-hitung bisa sekalian berekreasi bersama keluarga karena suasana pasarnya menyenangkan.

Jadi, adanya Hari Pasar Rakyat Nasional bisa menjadi momen sindiran untuk pemerintah. Pasar rakyat haruslah tetap menjadi pasar rakyat, bukan lantas dijadikan pasar modern. Tetapi, segala-galanya harus dibuat semaju dan seakomodatif pasar modern. Dalam hal manajemen, pengelolaan, penataan, kebersihan, ketersediaan produk, keterjangkauan harga, kemudahan pembeli mencari barang yang diinginkan karena banyaknya papan petunjuk, daya informatif dan komunikatif, pelayanan, keramahan, keamanan, keteraturan, sampai promo-promo dan adanya penghargaan tertentu bagi pelanggan, dan dalam hal-hal lain, pasar rakyat harus belajar dari pasar modern. 

Apalagi, pasar rakyat punya keunggulan di bidang sumber daya karena dikelola oleh pemerintah, secara khusus: pemerintah daerah melalui badan usaha milik daerah. Alasan-alasan, seperti keuangan yang kurang atau sulitnya mencari sumber daya manusia yang memadai, seharusnya tidak lagi menjadi tameng kemalasan pemerintah daerah. Kalau swasta saja bisa membangun pasar, yakni pasar modern (jadi, sebetulnya, pangkal perbedaan pasar rakyat dengan pasar modern itu hanyalah soal pemilik dan pengelolanya saja: pasar rakyat oleh pemerintah, pasar modern oleh swasta), secara sangat keren, maju, beradab, dan manusiawi, masakan pemerintah (yang pasti jauh lebih besar keuangannya dan juga kekuasaannya karena bisa membuat hukum dan aturan) tidak?

Mendesakkah Keberadaan “Hari Pasar Rakyat Nasional” Itu?

Tetapi, sebatas itu sajakah peruntukkan Hari Pasar Rakyat Nasional? Kalau sekadar untuk kepentingan kemajuan pasar rakyat itu sendiri, urgensi penetapan Hari Pasar Rakyat Nasional bisa diperdebatkan dengan mudah. Karena, pasti banyak kalangan yang menilai, lecutan motivasi terhadap pemerintah untuk mereformasi dan merevolusi pasar rakyat dapat dilakukan dengan banyak cara lain selain dengan adanya Hari Pasar Rakyat Nasional, yang bisa jadi sangat mubazir lantaran tidak seimbangnya ongkos yang dikeluarkan setiap tahun untuk seremoni tahunan (apalagi bila diselenggarakan secara mewah dengan mengundang artis, misalnya) dengan hasil dari adanya hari peringatan tersebut yang bisa jadi jauh dari harapan karena kemajuan reformasi pasar rakyat tetap saja berjalan amat lambat, malah terkesan tidak ada perubahan sama-sekali.

“Hari Pasar Rakyat Nasional” Haruslah agar Manusia Indonesia Menghidupi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika!

Namun, resistensi akan sangat berkurang bilamana tujuan dan motivasi pembentukan Hari Pasar Rakyat Nasional adalah obyek yang lain, yang jauh lebih luhur dan prospektif. Dan apa lagi tujuan dan motivasi yang dapat lebih luhur dan lebih menjangkau ke depan dibandingkan dengan keinginan untuk mendorong supaya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika terus-menerus semakin dihayati dan diamalkan oleh seluruh rakyat Indonesia? Jadi, Hari Pasar Rakyat bisa menjadi amat sangat urgen untuk diadakan apabila hari peringatan tersebut dimaksudkan untuk mendorong dan mempercepat terealisasinya perikehidupan bangsa kita yang sungguh-sungguh Pancasilais, dengan benar-benar “me-nunggal-ika-kan” kebhinnekaan kita!

Kalau kita teliti peran besar pasar terhadap peradaban dan kehidupan umat manusia, sebagaimana diulas di awal, kita akan mendapati, semua peran tersebut sangat bersifat “Pancasila” dan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Orang-orang dari beraneka agama, ras, suku, bahasa, dan sebagainya berkumpul dalam satu tempat yang sama dengan tujuan yang secara garis-besar sama, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup.

Dengan dijadikannya pasar selaku tempat utama menyiarkan ajaran agama dan moral pada zaman purba, serta selalu adanya tempat ibadah di sekitar pasar, maka pasar pun amat kuat menggaungkan kesadaran akan adanya Tuhan.

Pasar pun mendorong kita untuk terus melatih kemanusiaan lewat interaksi dengan banyak orang, juga merangsang kepekaan kita akan keadilan dan kerinduan kita untuk menjadi bagian dari peradaban yang lebih tinggi.

Seperti kita lihat barusan, dengan bertemu sekian banyak orang dengan sekian banyak perbedaan namun dengan tujuan yang sama, semangat solidaritas dan persatuan kita seolah dipompa saban kali kita ke pasar.

Dengan adanya istilah “pembeli adalah raja” dalam dunia perdagangan, lalu juga dengan lumrahnya musyawarah untuk mencapai kemufakatan di antara penjual dengan pembeli lewat kegiatan tawar-menawar harga, kemudian dengan diharuskannya kita bijaksana dalam memilah dan memilih barang yang bagus untuk dijual dan dibeli, serta dengan dimanfaatkannya pasar pada zaman dulu untuk mengumumkan hukum oleh pihak penguasa, maka di pasar pun kita belajar tentang kepemimpinan, hikmat-kebijaksanaan, dan permusyawaratan.

Dan, yang pasti, adanya kebutuhan dan tersedianya pemenuhan segala kebutuhan tersebut, serta besarnya volume aktivitas perekonomian berikut arus keuangan dan barang, membuat pasar menjadi wadah yang paling pas untuk meracik keadilan sosial.

Semua itulah yang seharusnya menjadi visi-misi pemerintah dan semua pihak, termasuk kita dari kalangan masyarakat, dalam rangka peremajaan, reformasi, dan revolusi terhadap pasar rakyat! Dan memang tak salah kalau visi-misi tersebut dikristalkan momentumnya menjadi Hari Pasar Rakyat Nasional! Terutama untuk memberantas jiwa intoleransi yang perkembangannya tampak semakin tak terkendali akhir-akhir ini!

——————————

Akun Facebook : https://www.facebook.com/samueledwardrolos

Akun Twitter : https://twitter.com/SammyAddward

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun