Mohon tunggu...
samuel purba
samuel purba Mohon Tunggu... Administrasi - PNS, pemerhati sosial

Penikmat alam bebas dan bebek bakar; suka memperhatikan dan sekali-sekali nyeletuk masalah pendidikan, budaya, dan kemasyarakatan; tidak suka kekerasan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Haus Akan Jurnalisme Musik Bermutu

5 Januari 2019   21:18 Diperbarui: 6 Januari 2019   04:26 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Idhar Resmadi, Pengamat Musik (Rizki Ramadan/Hai Grid)

(Tanggapan atas Buku "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" karya Idhar Resmadi) 

Buku "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" ditulis oleh Idhar Resmadi. Sosok yang sebetulnya tidak asing lagi bagi saya pribadi. Seorang anak muda Bandung yang sejak saya kenal di tahun 2013 sebagai pribadi hangat, potensial, dan juga unik.

Di penghujung Desember 2018 lalu, di sela-sela urusan pekerjaan, saya bertemu Idhar di Kota Bandung.  Masih sama dengan empat tahun lalu, penampilannya tetap sederhana (takut dibilang agak urakan), dengan kaos oblong, kacamata, dan topi khasnya.

Saya tahu bahwa Idhar baru saja merilis buku tersebut, dan sebagai teman pasti saya mengendorse dengan membelinya langsung dari penulis. Lalu percakapan pun mengalir hangat seperti dulu ketika kami masih sama-sama kuliah di Magister Studi Pembangunan ITB Bandung.

Idhar adalah sedikit dari anak muda Bandung yang sangat tertarik pada dunia tulis-menulis/ jurnalistik, secara spesifik jurnalisme musik. Kecintaannya itu sudah ada sejak remaja dan dikembangkan ketika kuliah di Fikom Unpad Bandung.

Suatu ketika Idhar mengajak saya dan beberapa teman ke rumah baca/ perpustakaan Kineruku di Bandung (dan akhirnya sering dijadikan posko diskusi dan mengerjakan tugas kuliah). Sambil tersenyum dia menunjukkan buku pertamanya berjudul Based on a True Story, Pure Saturday.


Tidak hanya itu saya, jaringan pertemanan beliau dengan berbagai tokoh dan aktor di Kota Bandung juga cukup luar biasa. Mulai dari profesor di berbagai kampus ternama sampai pemusik alternatif tradisional di pinggiran Kota Bandung kenal baik dengannya.

***

Sekembalinya di Jakarta, delapan bab buku "Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya" ini pun mulai saya buka-buka. Meskipun saya awam terhadap jurnalisme dan dunia musikologi, namun aroma Idhar melalui cerita-cerita selama ini saya dengar sangat kental di buku tersebut.

Menurut saya buku ini cukup komprehensif. Di bab awal Idhar mengupas cikal bakal lahirnya media musik di Indonesia, melalui radio Belanda di tahun 1934. Kemudian berkembang dengan komunitas musik di Batavia dan di Jawa Timur. Setelah kemerdekaan kegilaan anak muda akan dunia musik (Barat) semakin kuat, didorong oleh hadirnya film dan musik Amerika di tanah air.

Kemudian setelah kemerdekaan, periode 60' muncul berbagai majalah musik seperti Diskorina dan Aktuil di Bandung. Semuanya menggandrungi musik rock yang mulai merasuki anak-anak muda di masa itu.  Aktuil yang mempopulerkan istilah dangdut dan 'belantika' (dalam bahasa Sunda berarti usaha dagang, artinya musik komersial). Tokoh-tokoh seperti Remy Sylado dan Deny Sabri adalah pelaku hidup yang oleh Idhar dijadikan sebagai narasumber buku ini.

foto pribadi
foto pribadi
Di era 80' dan 90' dunia jurnalisme musik sudah berkembang yang digerakkan oleh industri media bermodal besar seperti Gramedia, Femina, Jawa Pos, Majalah Hai, dan lainnya. Di televisi juga sudah dikenal luas MTv yang digandrungi anak-anak muda pecinta musik rock.  

Jurnalisme musik dikatakan sebagai penghubung antara industri musik dengan pecinta musik. Di era internet saat ini Idhar melihat jurnalisme musik berdiri sendiri-sendiri melalui berbagai konten di Youtube, blog, dan website. Penulisnya juga bukan murni seorang jurnalis, tetapi orang-orang yang memiliki passion musik.

Namun dalam banyak kasus saat ini sulit mendapatkan tulisan musik yang bergizi. Kebanyakan penulis musik adalah orang-orang yang tidak cakap menulis, mewawancarai musisi yang tidak dapat beropini, dan dibaca oleh orang-orang yang tidak mengerti musik.

Bagi Idhar sendiri, menulis musik adalah sebuah aktivitas intelektual karena memerlukan kerja evaluatif ketika mendengar suatu musik tertentu (Hal 81). Di situ diperlukan pendekatan sosiologis dan kultural disandingkan dengan wawasan musik yang luas, entah yang didapatkan dari berbagai sumber dan interaksi formal maupun non formal. Penulis musik adalah "penggemar yang tercerahkan", demikian istilah yang dipakai Idhar.

Oleh karena itu Remy Sylado memberikan beberapa kondisi untuk dapat menjadi jurnalis musik. Modal pertama, ialah kemampuan pengindraan untuk mendengarkan dan mendengarkan secara objektif dengan kata-kata apa yang didengar dan disaksikan dalam peristiwa musik. 

Kedua, penulis menguasai betul bahasanya, sebab musik sebagai seni juga menyangkut filsafat keindahan. Ketiga, mereka yang menulis musik harus mengerti apa yang ditulisnya. Jika ia tidak menguasai musik secara teknis, dapat bertolak dari pengetahuan musik yang diperolehnya dari bacaan, pergaulan, atau pengamatan.

Dalam bagian selanjutnya Idhar juga mengulas tentang gaya bahasa penulisan jurnalistik musik, yang dipengaruhi dengan sastra. Salah satunya Jurnalisme Gonzo (Hal 94), yang mana gaya bahasa ini merupakan peleburan fakta dan fiksi. Gaya bahasa nyentrik dan nyeleneh ini mendobrak kakunya penulisan musik dengan pendekatan formal. Namun menurut Idhar pengaruhnya di Indonesia belum begitu terasa.

Di bagian lain Idhar masuk ke wilayah filosofis mengenai selera musik. Selera musik orang bisa macam-macam dan tidak memerlukan alasan apapun, oleh karena itu tidak bisa digugat dengan pendekatan apapun.

Namun selera musik, sekalipun mengutamakan subjektifitas, tidak terlepas dengan konteks sosial politik. Dalam hal ini musik tidak lagi persoalan keindahan an-sich, tetapi dapat digunakan sebagai medan sosial, sebuah konsensus yang memberikan sumbangan fundamental bagi lahirnya tatanan sosial.

Mengutip Bourdieu, musik akan selalu menjadi kuasa simbolik, yang meskipun tidak terlihat namun dapat mengkonstruksi realitas. Kuasa tersebut dapat termanifestasikan melalui keterlibatan individu sebagai objek maupun subjek kekuasaan.

Dalam hal ini musik dapat menjadi identitas sebuah kelompok masyarakat yang membedakannya dengan kelompok lainnya. Kita sering mendengar istilah musik gedongan maupun kampungan, yang oleh kelompok masyarakat dijadikan sebuah selera bersama, yang juga dikembangluaskan oleh jurnalisme musiknya masing-masing.

Pada bagian akhir, Idhar mengulas tentang pentingnya (tepatnya kerinduannya) terhadap kritik musik. Pendekatan kritik musik dapat berupa, 1) kritik akademik, 2) kritik jurnalistik, 3) kritik pedagogic, maupun 4) kritik popular. Saat ini lahan musik di Indonesia sangat kering dengan kritik musik, baik yang dilakukan di dunia kampus, kalangan musisi, jurnalis, dan masyarakat pecinta musik pada umumnya.

Dunia jurnalisme musik juga masih belum berkembang. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan belum adanya jurusan khusus jurnalisme musik di kampus-kampus di tanah air.

***

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa peran jurnalisme musik sebetulnya sangat krusial dalam mendorong peningkatan kualitas musik dan memberi ruang bagi perkembangan musik non mainstream. Saya pun merindukan adanya bacaan yang berisi ulasan kritis dan mendalam mengenai perkembangan dunia musik dan pelaku/ musisi tanah air yang sudah semakin langka saat ini.

Selama dua dekade terakhir industri musik tanah air memang berkembang cukup pesat. Banyak group band maupun solo yang lahir dengan berbagai jenis genre sesuai dengan selera berbagai kalangan. 

Namun kehadiran musisi baru juga kerap berbarengan dengan berbagai berita-berita kontroversial kehidupan pribadi artis tanah air yang secara masif disebarluaskan oleh media infotainment, yang lama kelamaan menjadi membosankan. Apakah itu bagian dari selera masyarakat kita dan menjadi modal bagi industri media, saya tidak tahu. 

Idhar Resmadi (tengah), koleksi pribadi
Idhar Resmadi (tengah), koleksi pribadi
Karena selain menikmati musikalitas, saya juga rindu adanya wacana dan diskursus yang dapat diakses publik secara luas. Baik dalam bentuk ulasan lagu/ album, pertunjukan, musik, analisis, profil musisi, bahkan kritik. Rasa-rasanya saat ini perkembangan musik tanah air berlari bebas tanpa ada upaya saringan apapun di masyarakat.  

Dengan adanya reportase yang mendalam, menarik, dan memberikan wawasan dan sudut pandang baru, diharapkan penikmat musik seperti saya akan mendapatkan kecintaan yang lebih akan musik tersebut. Dan kecintaan masyarakat akan musik juga tentunya akan semakin mendorong perkembangan kualitas musik di tanah air.   

Selain itu, jurnalisme musik juga dapat melirik kepada bibit-bibit musik di berbagai pelosok, yang hadir dalam berbagai identitas dan karakteristik. Mereka belum tentu kalah kualitas dibandingkan dengan musisi kenamaan. 

Namun masih belum beruntung untuk memiliki akses dengan industri musik. Pemberitaan akan hal tersebut, seharusnya juga menjadi perhatian media mainstream yang sudah mapan di tanah air. Menjadi setitik air untuk menghilangkan kehausan dan kebosanan akan pemberitaan politik yang sering berafiliasi dengan kepentingan kekuasaan tertentu.

Sampai saat ini saya masih melihat energi Idhar yang tanpa lelah wara-wiri ke pertunjukan musik di pelbagai pelosok Kota Bandung, sambil mengajar sebagai dosen di salah satu kampus swasta dan banyak kegiatan penelitian lainnya. Dia seperti benang yang mengikat berbagai fenomena musik jalanan sampai cafe-cafe, merekam berbagai fakta sosial sosial budaya, dan mampu merasakan dan menyuarakan nafas ideologi musik di Kota Bandung. 

Oleh karena itu, sebagai teman saya merasa bangga dan merekomendasikan tidak hanya buku ini, tapi juga orang-orang seperti Idhar Resmadi yang terus gelisah dan memberikan pandangan baru kepada awam akan pentingnya kehadiran jurnalisme musik yang bermutu di tanah air. Sekali lagi, Selamat buat Kang Idhar!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun