Abstrak
Pulau Salarangan, sebuah dusun yang berada di wilayah Desa Paliat, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, tengah mengalami pergeseran sosial yang cukup mencolok. Perubahan ini tidak hanya terjadi di permukaan, tetapi juga menyentuh inti kehidupan keluarga, baik dari segi susunan maupun peran yang dijalankan masing-masing anggota. Gelombang globalisasi, kemajuan dalam dunia pendidikan, serta keterbukaan terhadap teknologi digital telah membawa transformasi dalam cara orang-orang berhubungan satu sama lain, bagaimana anak dibesarkan, dan bagaimana peran laki-laki dan perempuan ditafsirkan dalam ruang keluarga. Pandangan yang diangkat dalam tulisan ini menekankan bahwa proses modernisasi bukanlah ancaman terhadap sistem kekeluargaan tradisional, melainkan peluang untuk membentuk pola baru yang lebih relevan dan adaptif terhadap realitas sosial masa kini.
Kata kunci:Â dinamika sosial, institusi keluarga, pengaruh teknologi, peran gender, adaptasi nilai.
Pendahuluan
Keluarga berperan sebagai inti atau unit terkecil dalam kehidupan sosial, yang membentuk dasar kepribadian, nilai, serta jati diri seseorang sejak dini. Dalam masyarakat, keluarga memegang peran penting sebagai tempat pertama di mana norma budaya, ajaran agama, dan prinsip moral diwariskan kepada generasi selanjutnya. Namun, dinamika zaman telah mendorong terjadinya perubahan besar dalam peran dan struktur keluarga. Gelombang perubahan sosial seperti modernisasi, urbanisasi, industrialisasi, globalisasi, dan kemajuan teknologi telah menggeser cara keluarga berfungsi, termasuk dalam menjalankan nilai-nilai yang dulu dijadikan pegangan bersama (Sleman, 2025).
Di Pulau Salarangan, nilai kekeluargaan dulunya menjadi kekuatan utama dalam kehidupan masyarakat. Namun, akhir akhir ini kehidupan di pulau kecil ini mulai berubah. Teknologi makin mudah diakses, pendidikan makin luas jangkauannya, dan orang-orang kini lebih leluasa berpindah tempat. Akibatnya, peran orang tua dalam membimbing anak perlahan digantikan oleh dunia digital dan pengalaman luar pulau. Anak-anak banyak yang pergi merantau sejak muda, para ibu pun mulai ikut bekerja ke luar daerah. Bahkan, keputusan keluarga kini sering dipengaruhi oleh informasi yang berseliweran di internet, bukan semata oleh petuah keluarga.
Tulisan ini bertujuan pada analisis dampak perubahan sosial di Pulau Salarangan terhadap susunan dan peran keluarga. Selain itu, kajian ini juga mengeksplorasi apakah pergeseran nilai-nilai keluarga mencerminkan gejala melemahnya keharmonisan, atau justru merupakan bentuk penyesuaian terhadap tuntutan dinamika kehidupan modern.
Pernyataan Posisi (Thesis Statement)
 Transformasi sosial yang terjadi di Pulau Salarangan tidak lagi terbatas pada hal-hal eksternal semata, melainkan telah masuk ke ranah yang paling mendasar dalam struktur kehidupan masyarakat, yaitu institusi keluarga. Dalam tatanan lama, keluarga di pulau ini umumnya dibangun atas sistem yang menempatkan otoritas pada orang tua, khususnya ayah sebagai penentu utama dalam segala keputusan. Anak-anak dituntut untuk mematuhi aturan yang diwariskan secara turun-temurun, dan peran antara laki-laki dan perempuan sangat dibedakan: laki-laki bekerja di luar, sementara perempuan bertanggung jawab atas rumah tangga dan anak-anak.
Seiring waktu, pengaruh globalisasi, akses yang semakin terbuka terhadap teknologi komunikasi, serta meningkatnya mobilitas penduduk telah menggoyahkan struktur tersebut. Hubungan antara anggota keluarga kini tidak lagi sepenuhnya vertikal, melainkan mulai menunjukkan karakter yang lebih egaliter. Generasi muda, terutama anak-anak, memiliki jangkauan informasi yang luas melalui internet dan pendidikan luar daerah, yang membuat mereka tidak lagi menggantungkan nilai-nilai hidup sepenuhnya pada nasihat orang tua. Bahkan, dalam banyak situasi, keputusan keluarga justru dipengaruhi oleh pendapat mereka atau oleh informasi dari luar komunitas lokal.
Perubahan ini juga membawa dampak besar terhadap pola relasi gender. Kini, banyak perempuan yang tidak hanya aktif dalam urusan domestik, tetapi juga turut mencari penghasilan dan memiliki andil dalam pengambilan keputusan di rumah. Pergeseran ini menciptakan pola baru dalam kehidupan keluarga yang lebih terbuka dan berdialog, menggantikan sistem lama yang kaku dan patriarkis.
Masyarakat Pulau Salarangan pun ditantang untuk terus menyesuaikan diri dengan realitas baru ini tanpa kehilangan akar budaya lokalnya. Kemampuan menjaga harmoni antara tradisi dan modernitas menjadi kunci agar keluarga tetap berfungsi sebagai ruang sosial yang kuat di tengah derasnya perubahan zaman.
Argumen dan Dukungan Sumber
1. Relativitas Makna dan Struktur Keluarga
Di masa lampau, pola kehidupan keluarga di Pulau Salarangan cenderung melibatkan banyak anggota dari berbagai generasi dalam satu atap. Kehidupan komunal begitu kental, dan setiap keputusan penting dalam keluarga biasanya disepakati bersama dalam semangat kebersamaan. Namun, kondisi tersebut mulai berubah. Saat ini, muncul kecenderungan terbentuknya keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang memilih tinggal terpisah dari kerabat lainnya. Pergeseran ini umumnya dipicu oleh faktor migrasi tenaga kerja, baik dalam bentuk perantauan sebagai nelayan ke pulau lain maupun sebagai buruh informal di kawasan perkotaan.
Dalam pandangan Talcott Parsons melalui kerangka teori diferensiasi struktural, kompleksitas masyarakat modern mendorong lembaga-lembaga sosial, termasuk keluarga, mengalami perubahan fungsi. Hal ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Dusun Salarangan, di mana keluarga tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pembentukan karakter dan nilai moral bagi generasi muda. Kini, proses sosialisasi juga dilakukan melalui institusi pendidikan formal, perangkat teknologi seperti telepon pintar, serta pengaruh figur publik di dunia maya. Anak-anak tidak hanya belajar dari orang tua, tetapi juga dari berbagai sumber informasi digital yang membentuk sudut pandang dan perilaku mereka sehari-hari. (Parsons, 1951).
2. Perubahan Peran Gender dan Otoritas dalam Rumah Tangga
Pada masa lampau, struktur rumah tangga di Pulau Salarangan menempatkan laki-laki sebagai tokoh sentral dalam hal ekonomi. Peran sebagai pencari nafkah utama melekat kuat pada suami atau ayah, sementara perempuan lebih banyak mengemban tanggung jawab domestik seperti merawat anak dan mengurus rumah. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peran tradisional ini mulai mengalami pergeseran. Kini, tidak sedikit perempuan, terutama para ibu yang turut berkontribusi dalam menopang ekonomi keluarga. Mereka terlibat dalam berbagai usaha mikro berbasis potensi laut, seperti jual rumput laut, teripang, dan lain sebagainya serta mengandalkan dukungan finansial dari anggota keluarga yang bekerja di luar pulau.
Perubahan ini memberikan ruang baru bagi perempuan dalam lingkup pengambilan keputusan, khususnya yang berkaitan dengan keuangan rumah tangga. Fenomena ini sejalan dengan gagasan Anthony Giddens, yang menyatakan bahwa keluarga modern bergerak ke arah hubungan yang lebih dialogis dan setara, meninggalkan pola otoritas tunggal yang kaku. Di Salarangan, proses ini pun mulai terlihat, meski tidak sepenuhnya berjalan mulus. Masih terdapat ketegangan antara generasi lama yang cenderung mempertahankan nilai-nilai patriarkal dan generasi muda yang lebih terbuka terhadap prinsip kesetaraan gender dalam relasi keluarga. (Giddens, 2001).
3. Ketimpangan Sosial Baru dalam Keluarga
Tidak semua keluarga memiliki kesempatan yang sama dalam menyikapi dan memanfaatkan perubahan sosial yang terjadi. Mereka yang anak-anaknya menempuh pendidikan di wilayah perkotaan cenderung mengalami pergeseran pandangan hidup yang berbeda dibandingkan dengan keluarga yang menetap di Pulau Salarangan. Perbedaan ini memunculkan kesenjangan dalam cara pandang dan komunikasi antar generasi di dalam keluarga. Anak-anak yang kembali ke rumah sering kali membawa ide-ide baru dan pengaruh budaya luar, sementara orang tua tetap berpegang pada nilai-nilai tradisional yang sudah lama dianut. Akibatnya, tidak sedikit orang tua merasa perannya sebagai pembimbing utama mulai tergeser, karena anak lebih terpengaruh oleh figur publik digital atau wacana dari lingkungan perkotaan (Nasikun, 2007).
Situasi semacam ini berpotensi menimbulkan konflik identitas dalam keluarga. Rumah yang dulunya menjadi tempat perlindungan emosional dan penerus nilai kini berubah menjadi arena perdebatan antara pandangan lama dan gagasan baru. Jika perbedaan ini tidak dikelola dengan keterbukaan dan kebijaksanaan, maka bisa muncul ketegangan internal yang berdampak pada melemahnya rasa kebersamaan dan keutuhan dalam hubungan keluarga.
Refleksi Kritis terhadap Argumen Lawan
Ada anggapan di kalangan tertentu bahwa modernisasi telah membawa dampak negatif terhadap lembaga keluarga dengan mengikis rasa hormat anak kepada orang tua dan menjauhkan hubungan antar generasi. Namun, sudut pandang semacam ini cenderung terlalu menyederhanakan persoalan. Realitas yang terjadi lebih tepat dipahami sebagai proses penyesuaian peran dan struktur keluarga dalam merespons perubahan sosial yang lebih luas. Di Pulau Salarangan, misalnya, banyak keluarga justru menunjukkan kemampuan bertahan dan beradaptasi dengan kondisi baru. Komunikasi antar anggota tetap berjalan melalui platform digital seperti WhatsApp, dan keputusan penting pun masih dapat dibahas bersama meskipun dilakukan dari lokasi yang berbeda.
Dengan kata lain, perubahan sosial bukan berarti runtuhnya nilai-nilai keluarga, melainkan merupakan bagian tak terelakkan dari dinamika kehidupan masyarakat. Apabila individu dan komunitas mampu menata ulang peran masing-masing dalam keluarga secara bijak dan proporsional, maka perubahan yang terjadi justru bisa menjadi sarana untuk memperkuat hubungan keluarga, bukan sebaliknya.
KesimpulanÂ
Keluarga di Pulau Salarangan terus bergerak mengikuti arus zaman. Ia bukanlah struktur yang kaku, tetapi lembaga sosial yang dinamis dan mampu bertransformasi. Masuknya teknologi, semakin luasnya akses pendidikan, serta mobilitas masyarakat telah mengubah cara keluarga menjalankan fungsinya. Meskipun perubahan ini menggeser pola relasi yang dulu lebih hierarkis dan tradisional, nilai-nilai lokal tidak serta-merta hilang.
Yang dibutuhkan kini adalah pendekatan baru dalam menjaga harmoni keluarga dengan menyesuaikan cara berkomunikasi, membangun peran yang setara, serta merekonstruksi kembali nilai-nilai kekerabatan dalam kerangka kehidupan modern. Jika masyarakat Salarangan mampu menjadikan keluarga sebagai ruang perjumpaan antara nilai lama dan baru, maka keluarga akan tetap relevan sebagai fondasi sosial, bahkan menjadi lokus penting dalam menciptakan perubahan yang sehat dan berkelanjutan.
Daftar PustakaÂ
Giddens, A. (2001). Modernity and Self-Identity.Â
Nasikun, M. (2007). Sistem Sosial Indonesia.Â
Parsons, T. (1951). The Social System.Â
Sleman, M. N. (2025). Dampak Perubahan Sosial terhadap Nilai-nilai Keluarga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI