Mohon tunggu...
Ganda Samson
Ganda Samson Mohon Tunggu... Ilmuwan - Hidup Matinya Seorang Penulis

Lahir di Pematang Siantar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Revolusi Sosial

26 November 2021   09:51 Diperbarui: 26 November 2021   10:23 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Revolusi Sosial

Berita kemerdekaan Indonesia baru tiba di Kota Medan pada 25 November 1945. Pada tanggal itu pula, entah suatu kebetulan, Revolusi Sosial di Sumatera Utara berakhir pada 1946. Tetapi jalan panjang menuju peristiwa itu justru harus ditarik ke abad sebelumnya.

****

Sumber-sumber KITLV menyebutkan jalan raya Siantar-Lima Puluh (sekarang: Jalan Asahan) mulai dibangun pada 1872, tidak lama setelah Tanam Paksa selesai. Rencananya, Gubernur Jenderal JB van Heutz akan meresmikan setelah usainya Perang Aceh. Jalan itu memang mempersingkat perjalanan Pantai Barat ke Pantai Timur, dan mendekatkan Sumatera ke Selat Malaka. Setelah Traktat London (1824), rupanya Belanda cukup percaya diri mambangun perkebunan nan luas, yang juga membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Maka didatangkanlah tenaga kerja ras Hindustan dan Tionghoa dari Malaysia, yang kemudian digantikan ras Jawa.

Tetapi yang mendapat keuntungan dari pembukaan jalan itu adalah ras Batak, yang setelah meletusnya Perang Toba (1878) melarikan diri menuju Kualu, suatu kesultanan kecil di Pesisir Timur dekat Kisaran dan Tanjung Balai. Dalam pelarian itu, mereka kemudian berjumpa dengan orang-orang Jawa yang setengah hati menjalankan tugasnya sebagai hatoban (budak/ kacung). Mereka diculik, atau dibebaskan sebelum dijual kembali kepada pemiliknya. Orang-orang Batak inilah yang kemudian dijuluki Vrije Man, atau kemudian menjadi preman.

Artinya, preman sudah ada sejak akhir abad XIX, sebagai suatu hubungan inersia (lembam) antara orang-orang yang berdiam di Sumatera Timur. Saya masih sempat menyaksikan bagaimana relasi itu terjalin sangat kuat diantara para buruh perkebunan PTP VII dan PTP VIII dengan pencuri kelapa sawit atau pencuri besi. Kelapa Sawit itu kemudian menjadi pengganti kayu bakar, sedangkan besi lori dijual kiloan. Sepanjang 1982-1987 saya juga masih menyaksikan wilayah kebun negara Bangun menjadi wilayah tak bertuan yang disulap menjadi ladang-ladang pribadi pada Kilometer-7 sampai-16.

****

Demikianlah situasinya hingga kedatangan Jepang 1942. Awalnya baik-baik saja, tetapi kemudian cara Jepang menjajah Hindia ternyata berbeda dengan Belanda. Struktur yang begitu ketat membuat para preman mengalihkan sasarannya kepada orang-orang Tionghoa. Tetapi kemudian pembentukan organisasi Tionghoa (Pao An Tui) membuat para preman tidak bisa lagi berbuat semau gue. Dan akhirnya 17 Agustus 1945 bergelora dalam semangat kemerdekaan yang membuncah. Tetapi koordinasi dan komunikasi antara pusat dan daerah tidak mungkin selancar saat ini, sementara tentara sekutu membonceng Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Oktober 1945 Sekutu telah tiba di Belawan dan situasi yang kemudian muncul benar-benar membingungkan. Selain Indonesia dan Belanda yang ingin menjajah lagi, juga ada para sultan yang dianggap berpihak pada Belanda karena lebih menguntungkan. Tetapi tidak semua kesultanan itu berpihak pada Belanda karena diantara mereka juga menegaskan dukungannya pada Republik. Memang tidak seperti Sultan Jogya, terutama karena mereka tidak mempunyai banyak uang.

Maka pecahlah sebuah Revolusi Sosial, yang terutama digerakkan orang-orang Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Pertikaian antara pengikut Sjahrir dan Amir Sjarifuddin serta Tan Malaka, juga terjadi di sekitar Deli Serdang atau Serdang Bedagai dan Langkat. Dan para preman pun mencoba mengambil keuntungan dari situasi ini. Seperti kita tahu, Armin Pane dan Sanusi Pane adalah korban pembantaian anggota kesultanan Deli yang mengenaskan.

Adalah Amat Boyan dan Timur Pane dengan laskar kebanggaan mereka masing-masing, yakni Pemuda Pesindo, Laskar Naga Terbang dan Laskar Kampak, sebagai aktornya. [Tahun 1997, ketika saya mengunjungi kediaman Olo Panggabean, dia mengatakan bahwa kampak adalah senjata paling diandalkan di Sumatera Utara dan Riau, termasuk menjadi akronim klub PSMS. Kampak = Kami Anak Medan Pencinta Ayam Kinantan]. Di satu sisi, mereka membantu Republik muda. Tetapi di sisi lain, mereka juga menuntut banyak dari pemerintah yang tidak punya banyak uang. Misalnya menuntut dijadikan tentara formal yang bergaji setiap bulan, selain pangkat yang (tentunya) aneh-aneh seperti Marsekal Medan atau Jenderal Mayor. Kantor Pusat mereka di Jl. Amaliun Medan (sekarang), ataupun  di kawasan Medan Tembung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun