Kemajuan teknologi rekayasa genetika telah membuka peluang luar biasa dalam dunia akuakultur, termasuk pengembangan ikan transgenik. Namun, di balik potensi besar tersebut, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah kita siap menghadapi konsekuensinya?
Esai ini mengungkap dengan gamblang bahwa ikan transgenik bukan hanya menimbulkan risiko ekologis yang nyata---seperti hilangnya keanekaragaman genetik melalui Trojan gene effect---tetapi juga memunculkan kekhawatiran serius bagi kesehatan manusia dan keberlanjutan budidaya. Ketika satu ekor ikan transgenik dapat membawa dampak kepunahan populasi dalam 40 generasi, maka seharusnya peringatan ini tidak dianggap remeh.
Masyarakat, ilmuwan, dan regulator harus bersikap kritis dan bijaksana. Inovasi tidak boleh hanya mengejar produktivitas tanpa mempertimbangkan keseimbangan alam dan etika bioteknologi. Ikan transgenik mungkin menjanjikan hasil panen yang lebih cepat dan besar, tetapi jika harga yang dibayar adalah kerusakan ekosistem dan potensi ancaman bagi kesehatan manusia, maka sudah saatnya kita berkata: tunggu dulu, jangan buru-buru dilepas ke alam.
Penerapan teknologi transgenik dalam bidang akuakultur, khususnya pada ikan, merupakan langkah inovatif dalam meningkatkan efisiensi produksi pangan. Namun, esai yang disusun menunjukkan bahwa meskipun secara teoritis teknologi ini menjanjikan, implementasinya di lapangan masih menyimpan banyak potensi risiko yang patut menjadi perhatian serius, baik dari segi lingkungan, ekologi, maupun kesehatan manusia.
Salah satu kekhawatiran utama yang dikemukakan adalah risiko ekologis, terutama efek interbreeding antara ikan transgenik dan ikan liar. Fenomena Trojan Gene Effect yang dijelaskan dalam esai menunjukkan betapa cepatnya populasi alami dapat terganggu bahkan punah jika ikan transgenik lepas ke alam. Ini menegaskan bahwa meskipun organisme transgenik dirancang untuk keuntungan ekonomi, potensi gangguan keseimbangan ekosistem justru bisa sangat merugikan dan tidak dapat diabaikan.
Dari perspektif kesehatan manusia, meskipun belum ada bukti konklusif bahwa ikan transgenik membahayakan kesehatan, ketidakpastian mengenai potensi alergen, toksin, dan perubahan kandungan nutrisi menuntut adanya prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dalam penggunaannya. Pengalaman sebelumnya dengan hormon pada daging sapi dan ayam menambah kecemasan publik terhadap organisme hasil rekayasa genetika yang dikonsumsi secara langsung.
Saya sepakat bahwa pembatasan penggunaan ikan transgenik hanya pada sistem tertutup dan bukan sebagai induk atau calon induk adalah langkah yang tepat dan perlu ditegaskan dalam kebijakan nasional. Regulasi ketat dan evaluasi risiko yang komprehensif harus menjadi syarat utama sebelum teknologi ini diadopsi secara luas.
Akhirnya, teknologi transgenik seharusnya tidak ditolak mentah-mentah, melainkan dihadapi dengan pendekatan ilmiah, regulatif, dan etis. Penelitian lanjut, transparansi data, dan keterlibatan masyarakat sangat penting agar manfaat teknologi ini tidak dibayangi oleh risiko yang tak terkendali.
Teknologi transgenik dalam sektor perikanan merupakan terobosan ilmiah yang menjanjikan peningkatan produktivitas, efisiensi pertumbuhan, dan ketahanan terhadap penyakit. Namun demikian, seperti yang diuraikan dalam esai Darmawan dani Boby (2013), penerapan ikan transgenik dalam kegiatan budidaya juga memunculkan berbagai risiko yang kompleks, baik terhadap ekosistem alami maupun kesehatan manusia.
Dari sisi ekologi, fenomena interbreeding antara ikan transgenik dan populasi liar dapat menimbulkan Efek Gen Trojan yang berpotensi menghancurkan keberlangsungan populasi asli di alam. Fakta bahwa kehadiran hanya sedikit ikan transgenik dalam populasi besar dapat menyebabkan kepunahan dalam waktu kurang dari 50 generasi merupakan sinyal bahaya yang serius. Oleh karena itu, penggunaan ikan transgenik harus dibatasi secara ketat hanya dalam sistem akuakultur tertutup dan tidak boleh digunakan sebagai indukan untuk pemijahan.
Berdasarkan pada kemungkinan terpindahnya sifat jelek asal dari rDNA kepada produk rekayasa genetika akan memiliki pembawa sifat yang jelek. Pembawa sifat jelek tersebut yang mungkin terpindahkan antara lain : alergen, toksin, senyawa baru, perubahan nutrisi, dan sifat resisten terhadap antibiotika.