Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Cerdik, Sekali Gebuk, Anies-RK Puyeng dan Prabowo Dibiarkan Manuver

19 November 2020   14:20 Diperbarui: 19 November 2020   14:29 6551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: tirto.id

KONSTELASI politik tanah air hari ini diakui atau tidak kian memanas. Segala cara, segala upaya dan siasat pun mulai dilancarkan satu sama lain demi mengamankan tiket Pilpres 2024. 

Sudah jadi rahasia umum, kepulangan Imam Besar Front Pembela Indonesia (FPI), Habib Rizieq Shihab mampu memanaskan tensi politik dan keamanan nasional. Betapa tidak, hal tersebut memantik kerumunan massa yang menimbulkan dengan jumlah besar dan perseteruan dengan selebritis kontroversi, Nikita Mirzani. 

Namun, pada kesempatan ini saya tidak akan membahas soal dampak dari kerumunan massa dan narasi-narasi jorok yang terumbar akibat adanya perseteruan dua sosok temperamen dan mudah terprovokasi. 

Saya hanya akan coba mengulik tentang sikap Presiden Jokowi dalam memuluskan langkahnya sebagai petugas partai dilihat dari kacamata saya pribadi. Sekali lagi, petugas partai. Bukan presiden. 

Siapapun yang mengikuti perkembangan politik nasional, pasti paham, Jokowi adalah petugas partai dari PDI Perjuangan. Bukan sekali dua kali, ketua umum partai berlambang banteng gemuk moncong putih, Megawati Soekarnoputri menegaskan hal ini. 

Sebagai petugas partai, Jokowi tentu tidak hanya mengamankan kebijakannya selaku presiden. Akan tetapi, juga harus bisa memuluskan jalan kepentingan PDI-P. Khususnya Pilpres 2024. 

PDI-P sejauh ini memiliki dua calon potensial untuk bertarung pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Puan Maharani dan Ganjar Pranowo. 

Siapapun yang bakal diusung nanti merupakan rahasia dapur mereka. Jokowi hanya perlu memastikan lawan tanding usungan PDI-P tidak dihadapkan pada lawan berat. 

Bicara soal calon lawan. Sejauh ini ada dua nama yang tingkat elektabilitasnya konsisten masuk lima besar. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Menhan Prabowo tidak termasuk. Sebab yang bersangkutan anggap saja telah clear menjalin koalisi dengan PDI-P. 

Konsistennya dua nama di atas dalam bursa capres/cawapres, menurut beberapa pengamat politik disebabkan statusnya sebagai kepala daerah. Mereka memiliki cukup ruang untuk sering berinteraksi langsung dengan publik. 

Mereka bisa terus membangun pencitraan. Baik dalam bentuk kerja nyata, atau hanya wacana dan retorika. Tak masalah, selama publik bisa percaya. 

Dari sudut pandang politik hal ini bisa membahayakan calon-calon kandidatnya. Tidak menutup kemungkinan, lambat laun kepercayaan publik semakin besar bila ruang itu benar-benar mampu dimanfaatkan dengan baik oleh keduanya. 

Jokowi paham betul. Namun, dia masih belum menemukan momentum tepat guna "menggembosi" elektabilitas dua nama tadi. Sampai akhirnya, HRS kembali ke tanah air, Selasa (10/11/20). 

Di sini, permainan catur dimulai. Jokowi tahu betul, kedatangan HRS akan mengundang kerumunan massa dengan jumlah besar. Namun, dia seolah tak berdaya. 

Faktanya, tidak ada satu himbauan keluar darinya untuk mengantisifasi hal dimaksud. Padahal, Jokowi sangat telik jika bicara protokol kesehatan Covid-19. Jangankan kerumunan massa dengan jumlah besar, orang-orang yang hendak mudik atau berliburan pun diantisifasi dengan ketat. 

Caci maki, cibiran, kritik dan nyinyiran datang dari segala arah. Jokowi tetap diam dan bertahan. Dia membiarkan para kepala daerah lah yang berinisiatif untuk mencegahnya. 

Namun, lagi-lagi Jokowi cerdas. Dia tahu, Anies selaku penguasan DKI Jakarta dan Ridwan Kamil di Jawa Barat tidak memiliki cukup nyali untuk mencegah kerumunan massa HRS. Sebab, kepentingan mereka sangat kental dengan Imam Besar FPI tersebut. 

Benar saja. Alih-alih membubarkan kerumunan massa, Anies malah sowan saat HRS tiba di rumahnya. Selain itu, dia juga menjadi salah satu pihak yang turut hadir pada pesta pernikahan putri HRS---Syarifah Najwa Shihab. 

Pun dengan Ridwan Kamil. Meski belum berinteraksi langsung dengan HRS. Tapi, dalam suatu kesempatan, dia pernah menyatakan niatnya untuk menemui sang habib. 

Skak Mat. Langkah catur Jokowi berhasil mematikan langkah lawan. Pasca kerumunan massa berakhir, kedua kepala daerah itu harus menanggung akibatnya. 

Mereka dipanggil pihak kepolisian guna dimintai keterangan, karena dianggap telah abai, dan melanggar Pasal 93 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dengan ancaman satu tahun penjara dan denda Rp100 juta. 

Anies sebagaimana diketahui telah dipanggil Polda Metro Jaya, Rabu (17/11). Sedangkan Ridwan Kamil rencananya akan dipanggil Bareskrim Polri pada Jumat (20/11). 

Masih jauh kemungkinan kedua kepala daerah itu dinyatakan bersalah dan harus mendapat sanksi hukum. Tapi, kejadian tersebut setidaknya mampu membuat kredibelitas mereka dipertaruhkan. 

Apalagi, sebelumnya berdasarkan hasil survei Indonesia Elections and Strategic (indEX), Anies pada Mei 2020 lalu berada diangka 13,7 persen turun menjadi 4,7 persen. Sedangkan Ridwan Kamil, asalnya 12,8 persen pada Agustus, turun menjadi 7,8 persen. 

Prabowo Dibiarkan Bermanuver 

Seiring dengan kedatangan HRS, banyak pihak mendesak Menhan Prabowo Subianto untuk menjemputnya di Bandara Soeta. Namun, hal itu tak terwujud. Mantan Danjend Kopasus ini tak bereaksi apapun. 

Tapi, siapa sangka tiba-tiba melalui Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mantan suami Titiek Soeharto  meminta pihak pemerintah membebaskan sejumlah tokoh yang terjerat kasus hukum, sebagai syarat rekonsiliasi pasca Pilpres 2019. Misal, Bachtiar Nasir, Eggi Sudjana, Kivlan Zen, Sofyan Jacob, dan Mayjen (Purn) Soenarko. 

Kaget? Itu pasti. Mungkin banyak sangkaan, Prabowo mulai hendak macam-macam dengan Jokowi. Namun, dalam pandangan sederhanaku tidak demikian halnya.

Saya pikir, ini bagian dari strategi Jokowi dengan Prabowo tentunya. Orang nomor satu di republik ini paham, situasi pembantunya itu tengah di persimpangan atas pulangnya HRS. Sebab Imam Besar FPI ini pernah sangat dekat saat masih sama-sama di pihak oposisi. Belum lagi desakan publik yang terus memintanya untuk menjemput HRS kian membuat Prabowo terdesak. 

Guna mencairkan suasana dan meredam desakan publik, Jokowi membiarkan Prabowo bermanuver dengan cara meminta pada pemerintah untuk melepaskan para pendukungnya dimaksud. Dalihnya sebagai salah satu syarat rekonsiliasi. 

Anehnya, kenapa harus bertepatan dengan kepulangan HRS. Kenapa, tidak sejak awal saat mereka membangun rekonsiliasi? Jawabannya, Ini hanya bagian dari kecerdikan strategi Jokowi untuk membiarkan Prabowo bermanuver. Maksudnya adalah menyelamatkan muka pembantunya tersebut. 

Bagaimanapun, Prabowo adalah bagian dari grand design kepentingan politik Pilpres 2024. Sebagai petugas partai, Jokowi dituntut bisa memuluskan jalan dua partai besar yang digadang-gadang bakal berkoalisi. PDIP dan Partai Gerindra. 

Itulah hipotesa sederhana saya. Boleh percaya dan boleh juga tidak. Semuanya diserahkan kembali pada anda.

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun