Mohon tunggu...
Elang Salamina
Elang Salamina Mohon Tunggu... Freelancer - Serabutan

Ikuti kata hati..itu aja...!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Pseudo Democracy" dan Jika Gibran Melawan Kotak Kosong

30 Juli 2020   20:06 Diperbarui: 30 Juli 2020   20:14 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peristiwa demokrasi memalukan ini terjadi pada Pilwakot Makasar 2018 lalu. Dimana pasangan Munafri Arifuddin - Andi Rahmatika Dewi harus keok oleh kotak kosong.

Dikutip dari Kompas.com, dalam rekapitulasi suara, kotak kosong menang di 13 kecamatan. Sedangkan, calon tunggal hanya menang di dua kecamatan.

Kotak kosong memperoleh suara sebanyak 300.795, sedangkan calon tunggal memperoleh suara sebanyak 264.245. Total perolehan suara Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar mencapai 565.040 suara. Perolehan suara antara kotak kosong dengan calon tunggal sebanyak 36.898 suara.

Perolehan suara kotak kosong memperoleh suara Pilkada Makassar 2018 sebanyak 53,23 persen dan perolehan suara calon tunggal Appi-Cicu yang diusung 10 partai besar memperoleh suara sebanyak 46,77 persen.

Berkaca pada hasil Pilwakot Makasar, tentu tidak menutup kemungkinan pula bakal terjadi pula pada pasangan Gibran - Teguh Prakosa. Siapa tahu, bukan?  

Alarm bagi aktor politik

Bukan saya berharap, tapi jika pada saatnya nanti pasangan Gibran -Teguh Prakosa melawan kotak kosong dan ditakdirkan kalah. Maka, menurut saya, dari segi perspektif demokrasi, kemenangan kotak kosong justru ada positifnya, karena dapat menjadi alarm kuat bagi aktor politik untuk jangan coba-coba meraih kekuasaan dengan jalan instan dan "pengkondisian". 

Pasalnya, kemunculan kotak kosong atau calon tunggal biasanya selalu didasarkan tiga kondisi.

Pertama,  gagalnya kaderisasi parpol. Parpol kehabisan stok kader yang secara kalkulasi politik mampu bersaing dalam lapangan hijau Pilkada. Pasalnya, dalam konteks demokrasi elektoral hari ini, salah satu variabel penting dalam mengusung kandidat adalah soal kans menang, alias elektabilitas menjanjikan.

Kedua, adanya pihak-pihak yang sengaja mendesain munculnya calon tunggal. Dalam studi yang dilakukan Dur dan Bievre (2007), pihak-pihak yang maksud adalah kelompok berkepentingan. Tujuannya bisa untuk melanggengkan bisnis, dinasti politik, mempertahankan dominasi pengaruh, pemburuan rente, ataupun lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun