Ini alasaan memilih Kotak Kosong
Penghitungan suara Pilkada sementara di Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka dimenangkan kotak kosong.
Fenomena kotak kosong menang dalam pilkada adalah tamparan keras bagi sistem demokrasi kita.
"Manusia itu tidak berubah. Ia tetap serakah, tetap egois. Kalian sama tak bergunanya."
Ketidakpuasan rakyat bukanlah bencana, melainkan sebuah panggilan memperbaiki diri, tidak menepuk dada berulang di atas derita rakyat.
Petahana Tumbang dalam dua detik
Fenomena menangnya kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kian menarik perhatian publik.
Ketika suara Kotak Kosong meraih kemenangan, hal ini mengirimkan isyarat kepada partai politik bahwa mereka perlu melakukan perubahan mendasar
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada di Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam dari masyarakat
Calon tunggal bukan berarti jaminan kemenangan dalam pesta demokrasi Pilkada Serentak 2024.
Demokrasi bisa mati karena kudeta yang sering tidak disadari ketika terpilihnya pemimpin otoriter, dan disalahgunakannya kekuasaan pemerintah.
Koalisi Indonesia Maju-Plus (KIM-Plus) yang awalnya menjadi persatuan, justru merusak berjalannya demokrasi di negeri
Makna Kotak Kosong dalam Pilkada 2024 dan Dampaknya terhadap Masa Depan Demokrasi Lokal
Pengalaman pertama mengikuti Pilkada Walikota melawan kotak kosong di Pilkada Serentak 2024
Bahkan, ada yang lebih ekstrem, yakni mereka yang beranggapan politik itu kotor dan pemilu hanya sebagai formalitas belaka.
Jadi opini saya terkait kotak kosong akhirnya seakan blunder di alam demokrasi.
Kotak kosong menggambarkan kegagalan demokrasi sejati, di mana kurangnya pilihan alternatif menciptakan demokrasi yang terperangkap oleh elit.
Kotak kosong merupakan opsi yang dapat dipilih masyarakat ketika hanya ada 1 (satu) pasangan calon
Hak untuk memilih dan menyuarakan pendapat merupakan bagian dari demokrasi yang harus dihormati. Semua warga Indonesia memiliki kebebasan untuk.
Pertanyaannya, di mana letak demokrasi kita ketika proses elektoral semakin mengkerucut pada fenomena tanpa pilihan?