SORE itu, seperti biasa Damar baru pulang dari tempatnya bekerja. Setiap kali pulang kerja, laki-laki tinggi langsing berambut ikal ini kerap langsung menuju rumahnya. Hampir tak pernah mampir ke sana kemari jika tak ada keperluan penting.
Yang membuat Damar demikian, karena dia seorang pemuda pencinta senja yang kerap dia rasakan di teras rumahnya, di pinggiran kota yang masih tampak asri. Jauh dari kebisingan roda mesin dan hiruk pikuk kota.
Setelah berganti pakaian, Damar langsung menuju pelataran rumahnya yang sederhana namun resik sambil menenteng segelas kopi yang kepulan asapnya masih tampak. Tanda kopi itu baru saja di seduh.
Sesampainya di pelataran, Damar berdiam diri sejenak, lalu mendongakan kepalanya ke atas langit. Tampak olehnya langit berwarna merah kejinggaan.
Kemudian sejenak Damar memejamkan matanya. Berusaha menghilangkan semua masalah yang dia rasakan hari itu. Tak lama, dia kembali membuka matanya.
"Hmmm ... Indah sekali sore ini," gumam Damar. Lalu, dia menuju kursi kecil terbuat dari anyaman rotan, yang di pinggirnya ada sebuah meja kecil dari kayu yang diukir bagian kaki-kakinya.
Sambil mendaratkan bokongnya di kursi, kopi yang sedari tadi ditenteng, dia letakan di atas meja.
Saat tangannya siap merogoh sebungkus rokok yang ada di saku celananya, tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang pria paruh baya lewat depan pekarangan rumahnya dengan kepala tertunduk lesu.
Damar kenal betul siapa pria itu. Dia pun penasaran dan langsung menyuruh pria tadi singgah.
"Pak Amim ... Pak Amin, sini dulu mampir!" kata Damar dengan suara yang agak sedikit dikeraskan.
Pria yang dipanggi Pak Amim pun menoleh. Lalu bertanya.