Mohon tunggu...
Mas Kumambang
Mas Kumambang Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati hukum dan politik Indonesia.

Adillah sejak dalam pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Perkara BLBI: Pemerintah Lucu, Diam Saja

20 Juni 2019   07:25 Diperbarui: 20 Juni 2019   09:29 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Aneh sekali menyaksikan "pertarungan bebas"  antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  dan para pengacara Sjamsul Nursalim beberapa waktu belakangan ini. KPK bersikeras untuk menetapkan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) tersebut sebagai tersangka, sedangkan para pengacaranya menegaskan klien mereka sudah memenuhi kewajibannya.

Dua pihak saling mengklaim kebenaran posisi masing-masing. Hal tersebut telah berjalan berbulan-bulan sejak penyidangan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) di pengadilan Tipikor. Sikap dan pendapat KPK berjarak sangat jauh dengan para pengacara tersebut, seolah tak ada celah sama sekali mempertemukan pandangan mereka.  

Publik memperkirakan masalah ini akan berujung di meja hijau. Perkiraan tersebut tidak berlebihan karena selama ini sikap KPK seolah selalu benar. Nasib seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka akan berujung di pengadilan. KPK pun selalu menang. Seolah klaim KPK "firman" yang tidak mungkin dibantah, apalagi salah.

Yang aneh dalam ribut-ribut belakangan ini adalah, mengapa pemerintah diam saja. Mungkin karena tidak mau melakukan intervensi, apalagi terhadap KPK. Tapi perkara yang menjerat Sjamsul itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah pada masa lalu. Apalagi, pemerintah melalui berbagai keputusan dan pernyataannya,  sudah menegaskan bahwa perkara utang obligor BDNI tersebut sudah selesai.

KPK sekarang bersikeras dengan segala upayanya menjerat mantan pemilik pertambakan udang raksasa di Lampung dan Sumatera Selatan. Itu sikap yang membingungkan karena KPK mengabaikan keputusan hukum yang sudah ditempuh pemerintah. Lebih membingungkan lagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo sekarang seolah "cuci tangan" atas keputusan pemerintahan sebelumnya dengan membiarkan kontroversi masalah ini berlarut-larut.

Publik bisa berkesimpulan bahwa pemerintah tak ingin citranya rusak. Takut dianggap mengintervensi lembaga penegak hukum. Apalagi KPK. Tapi pemerintah memang tidak perlu mengintervensinya. Cukup menegaskan kembali sikapnya bahwa perkara BLBI-BDNI sudah selesai. Perkara BLBI secara keseluruhan memang belum selesai, namun sepanjang menyangkut BDNI, masalahnya sudah selesai.

Setidaknya begitu,  argumentasi para pengacara Sjamsul --Maqdir Ismail, Otto Hasibuan dan David Suprapto---yang bisa diikuti dari pemberitaan media. Terakhir kali pemerintah menegaskan perkara ini pada tahun 2008 ketika Menko Perekonomian Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan penyelesaian BLBI di depan rapat dengar pendapat (RDP) di DPR.

"Jadi di sini (berkas laporan RDP tersebut), pemerintah diwakili Menko (Perekonomian), Menteri Keuangan, sudah menyatakan... dihentikan, tidak diselidiki, tidak ditindak, tidak dituntut, tapi apa yang terjadi? Dipersoalkan, dibawa ke pengadilan," kata Otto Hasibuan dalam konferensi pers di Hotel Grand Sahid Jaya, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (19/6).[1]

Jauh sebelum pernyataan Boediono dan Sri Mulyani tersebut, pemerintah sudah memberikan Release and Discharge (R&D) kepada Sjamsul pada tahun 1999 karena ia bersedia menandatangani MSAA dengan menyerahkan uang dan asset-asetnya (termasuk pertambakan udang terbesar di Asia) untuk melunasi utang BLBI-BDNI. Dalam R&D tersebut, pemerintah menyatakan utang selesai dan tidak akan ada tuntutan hukum apapun terhadap Sjamsul.

Proses dan realisasi pembayaran utang sesuai MSAA tersebut sudah diperiksa melalui audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2002. Di pihak lain, keputusan politik telah mengakomodasi masalah penyelesaian BLBI melalui Tap MPR dan UU Propenas. Atas atas dasar itu, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Inpres, yang kemudian diikuti dengan keputusan BPPN memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada sejumlah obligor, termasuk Sjamsul.

SKL, dengan demikian, hanya merupakan penegasan BPPN saja atas pemberian R&D lima tahun sebelumnya. Sebab BPPN akan dibubarkan pemerintah. Aset-aset yang dikuasai BPPN --termasuk tambak di Lampung dan Sumsel yang mengekspor udang kualitas prima ke Jepang dan AS-- dialihkan ke Kementrian Keuangan. Bahwa kemudian aset-aset tersebut dijual di bawah harga, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun