Disebuah desa tanpa akses jalan memadai, tanahnya coklat, berbatu sulit ditapaki. Pelan perlahan anda terkadang terpeleset jika berjalan pelan. Harus hati-hati. Dikala pagi hari segelintir orang mulai beraktivitas sederhana, seperti menyalakan kompor, menimba air sumur, menanti sarapan rebusan umbi dan segelas air hangat untuk sarapan pagi....
Segelintir warganya adalah petani, pekebun dan perajut. Warga menaruh harap pada kekayaan alam ketika waktu panen disitulah Meraka merasa gembira. Namun tidak semua, ada sedikit yang tidak mengandalkan hasil bumi. Mereka pegawai desa...
Namun mereka semuanya saling sapa, saling terikat darah maupun kebutuhan. Tidak ada yang membedakan profesi, setidaknya itu yang mereka percayai. Terlihat hidup rukun, namun emosi tersembunyi hanya lirik dan sindiran yang bisa membekas bisa juga hilang dalam doa.
Terdapat sesosok guru desa, tak besar gajinya cukup, terkadang kurang untuk bawang, terkadang cukup untuk satu liter beras. Tapi tetangga tak tega terkadang datang silih berganti memberikan hasil bumi. Untuk berterimakasih atas jasanya.
Seperti pohon hijau yang tinggi menjulang oleh akar-akar, akar Budi pekerti, akar luhur, juga akar berbakti tanpa henti memberi inspirasi.
Namun hari mulai goyah, berguncang, bergemetar, takut. Takut akan masa depan anaknya sendiri. Yang memiliki cita-cita tinggi oleh didikannya sendiri.Â
Sang guru mulai mencederai harapan, harapan warga desa terpicil nan indah yang selama ini ditinggali. Mulai merusak pribadi dengan kesenangan duniawi. Satu persatu datang kebutuhan ekonomi. Tak haus dirinya mencari jalan. Ini-itu mulai digerogoti layaknya tikus lapar! Mencari jalan tikus, berbaur! Lupa akan jadi dirinya. Tak takut lagi dengan instansi naungannya, mengabaikan. Bahkan berani lintas sektoral untuk ikut ambil kebijakan penentuan bantuan pendidikan, penentu standar, kualitas bahkan mencerai akreditas! Untuk berbagai level pendidikan. Bahkan membuat trauma cita-cita, menghancurkan bakat,potensi anak negeri! Merebut paksa talenta muda, bermain-main dengan IDEOLOGI PANCASILA! Gila....
Kemana larinya jati diri? Bahkan si pemangku instansi mulai percaya itu kabar benar. Lebih gilanya lagi, instansi ini mewakili kebijakan negara! Gila...
Apakah kamu sudah sudah gila? Hilangkan warasmu wahai para abdi negara? Sudahkah kamu melihat arah bawah sana. Ada ibu yang rela menyulam bibirnya agar tertolong segera sementara perutnya masih berbunyi lapar? Tidak kah kau dengar suara letih tangannya sendiri setelah mencuci baju sekolah? Kini getarkah hati mu? Kemana perginya tawamu sekarang? Apakah selama ini anda berdoa meminta materi saja!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI