Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasionalisme Simbolon

15 Februari 2010   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55 8691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Februari adalah bulan penuh cinta dan disimbolkan lewat warna merah muda. Bagi muda-mudi, di bulan inilah mereka merayakan hari spesial untuk pasangannya. Tapi, dalam sejarah republik kita tercinta ini, justru pernah retak hubungan antar sesama anak bangsa. Itu terjadi di bulan februari ini.

Hari ini, tepat 52 tahun yang lalu sekelompok perwira menengah TNI AD bersama beberapa politisi mendeklarasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang Sumatera Barat. Pemerintah pusat segera bereaksi dengan mengirim pasukan untuk menumpas apa yang mereka sebut pemberontakan itu. Selama kurang lebih 3 tahun, terjadi peperangan sesama anak bangsa. Pemberontakan itu berakhir dengan pemberian amnesti dan abolisi terhadap pencetus dan pengikut PRRI tersebut.

Salah satu tokoh yang dianggap dalang pemberontakan itu adalah seorang perwira menengah TNI AD bernama Maludin Simbolon. Ketika itu ia perwira berpengaruh di sumatera khususnya Sumatera Utara. Ia menjabat panglima Tentara dan Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan. Sebagai perwira didikan Jepang, ia juga cukup disegani oleh anak buah dan rekan-rekannya. Saat PRRI dideklarasikan, Simbolon secara de jure tidak menjabat panglima TT I Bukit Barisan lagi. Tapi, deklarasi itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Simbolon .

Maludin Simbolon lahir di Pearaja, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara pada 13 September 1916. Tumbuh dan lahir ketika Zending Jerman masih bercokol di Tanah Batak membuat dia akrab dengan pendidikan Jerman.  Ia melanjutkan pendidikannya ke Pulau Jawa. Di sana ia menemukan jodoh yang berprofesi sebagai bidan bernama Paniyem.

Pada masa pendudukan Jepang, Simbolon mengikuti pendidikan militer untuk dipersiapkan menjadi pasukan sukarela Jepang, Giyugun ( Jika di Jawa bernama PETA). Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Simbolon berjuang di teritorial komandemen Sumatera. Pasca Belanda mengakui kedaulatan Indonesia ia diangkat menjadi komandan TT Sumatera Utara (kemudian menjadi TT I Bukit Barisan) menggantikan Kolonel Alex Kawilarang.

Pada masa kepemimpinannya inilah terjadi banyak kemelut di negara yang baru saja berdiri termasuk di tubuh angkatan bersenjata . Salah satu kemelut yang terjadi adalah apa yang dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh pertentangan 2 kubu di Angkatan Darat sendiri. Namun kemudian parlemen malah turut campur sehingga pimpinan AD Termasuk Simbolon di dalamnya menjumpai Presiden Sukarno dan mendesak beliau untuk membubarkan parlemen. Bung Karno tidak mau sebab dirinya bukan diktator. Peristiwa tersebut juga diwarnai dengan pengarahan moncong meriam ke istana oleh pasukan yang berada di luar.

Selain itu, naiknya PKI sebagi kekuatan politik pasca pemilu tahun 1955 juga merisaukan dirinya. PKI yang dianggap anti-Tuhan dinilai dapat membahayakan ideology negara. Tapi, TNI dan masyarakat antikomunis  tidak dapat berbuat banyak sebab pengaruh Bung Karno sangat besar untuk melindungi PKI.

Kemelut 17 Oktober 52, naiknya PKI hanyalah beberapa hal yang menyebabkan ketidakpuasan Simbolon dan teman-emannya kepada pemerintahan pusat. Yang paling berbahaya adalah adanya sentiment kedaerahan yang dibawa-bawa. Pusat dianggap tidak adil dalam ekonomi terhadap daerah. Padahal daerahlah yang paling banyak menyumbang devisa. Itu dialami juga oleh daerah yang merupakan komando Simbolon. Kondisi prajurit di wilayah komandonya juga sangat tragis. Asrama sangat tidak layak.  Tapi pemerintah pusat tidak bergeming sedikitpun.

Kondisi tersebut memaksa dirinya untuk mendapatkan pemasukan secara tidak halal. Salah satunya dengan mengadakan perdagangan barter hasil perkebunan dengan Singapura dan Malaysia. Tentu itu dilakukan secara diam-diam, sebab tentara tidak boleh berdagang secara langsung. Walaupun penyelundupan itu bisa menambah pemasukan bagi komandonya, akhirnya kegiatan itu muncul juga ke permukaan. Simbolon diperiksa dalam kegiatan yang dikenal sebagai penyelundupan teluk nibung itu.

Deklarasi PRRI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun