Adolf Hitler pasti sadar tidak sekadar berhadapan dengan satu negara saja. Serangan kilat ke Polandia menandai awal dari Perang Dunia II Â dan konflik domino Jerman dengan negara kuat lainnya.
Ketika menyerang Polandia pada 1 September 1939,Instruksi serbuan ke Polandia tersebut terjadi ketika Hitler sudah berkuasa di Jerman selama 6 tahun. Di kalangan Blok Sekutu juga ada pemimpin sepantaran atau lebih senior. Amerika Serikat dinakhodai oleh Franklin Delano Roosevelt (sejak 1933), sedangkan Rusia dikendalikan oleh Josef Stalin (sejak 1924).
Setelah perang pecah, kekuasaan politik Inggris dipegang politisi gaek Winston Churchill, sementara pemerintahan Prancis di pembuangan jatuh ke tangan Jenderal Charles de Gaulle. Kendati baru berkuasa di masa perang, Churchill dan de Gaulle membuktikan diri sebagai sebagai pemimpin tangguh.
Di awal perang, langkah ofensif Jerman tidak terbendung. Kecuali Rusia dan Inggris di Eropa, semua tanah musuh praktis sudah dikuasai oleh pasukan Hitler. Angkatan Bersenjata Jerman menghasilkan jenderal-jenderal tempur legendaris seperti Heinz Guderian dan Erwin Rommel.
Semua berbalik semenjak AS memimpin serbuan Sekutu ke Eropa per 6 Juni 1944. Kurang dari satu tahun, pasukan Sekutu berhasil menduduki Berlin yang memicu pembunuhan diri Hitler pada 30 April 1945 dan dipungkasi dengan penyerahan tanpa syarat Jerman pada 7 Mei 1945.
Setelah berulangkali porak-poranda, pemimpin Eropa bertekad agar Perang Dunia II menjadi yang terakhir. Sudah menjadi tradisi bahwa sesama negara Eropa---terutama Jerman, Inggris, dan Prancis---saling berperang satu sama lain. Seusai Perang Dunia II, negara-negara tadi mengadopsi sistem demokrasi dan berhimpun dalam satu pakta pertahanan bernama NATO.
Memang, di belahan timur ada Uni Soviet yang berpisah jalan dengan bekas sekutunya seusai perang. Namun, Uni Soviet lebih menanamkan pengaruhnya lewat ideologi, bukan perang terbuka. Alhasil, Eropa praktis aman dari perang blok-blokan besar yang selalu mewarnai sejarah mereka selama ribuan tahun.
Setelah Uni Soviet bubar, optimisme akan Eropa yang damai semakin hidup. Terlebih lagi, negara yang sebelumnya di bawah pengaruh komunisme mengadopsi sistem demokrasi dan bergabung ke NATO. Orientasi mereka pun diarahkan ke urusan ekonomi via Uni Eropa.
Dengan berbagai indikator tadi, bukan berarti Eropa lepas dari potensi perang besar. Sosok yang selalu dianggap mungkin memicunya adalah Presiden Rusia Vladimir Putin. Setiap aksi Putin di belahan timur dianggap dapat membalikkan Eropa seperti era Hitler.
Itu mengapa ketika militer Rusia akhirnya mengebom tanah Ukraina pada Kamis pagi hari ini, 24 Februari 2022, banyak pihak langsung menyamakan Putin dengan Hitler. Serbuan Rusia dianalogikan dengan serangan kilat pasukan Jerman ke Polandia.
Seolah sadar bakal disamakan dengan Hitler, Putin justru melempar bumerang. Sebagaimana dimuat dalam situs Kremlin, Putin malah menjustifikasi serbuan ke Ukraina sebagai upaya de-Nazifikasi. Baginya, penguasa di Ukraina sekarang adalah kelompok nasionalis sayap kanan serupa Nazi Jerman. Dalam pernyataan resmi tersebut, Putin juga membandingkan perjuangan Uni Soviet dulu ketika menghadapi Nazi.