Lagi-lagi kita dipertunjukkan oleh barbarisme yang tak kunjung henti. Kita jelas bukan Pakistan di mana penghina agama bisa dihukum mati. Mereka tidak punya Pancasila, pun pengalaman hidup bersama dalam damai seperti di Magelang dan sekitarnya.
Di sana, seorang Gubernur Punjab harus menjadi martir bagi kebebasan. Berani membela sang penghina Nabi yang nasibnya tinggal menunggu maut. Salman Taseer nama gubernur itu. Tanpa takut selain pada kemunafikan, ia berani mengunjungi si pesakitan Asia Bibi dan menyerukan pengampunan. Tapi kita tahu beberapa hari kemudian pahlawan demokrasi itu tewas ditembak pengawalnya sendiri. Tentu, karena darah sangan majikan telah "halal"!
Itulah negeri sufi besar, sang Allama Mohammad Iqbal. Meski Iqbal-lah konseptor negara Islam Pakistan, pasti dia bakal sedih melihat kejadian negerinya andai sekarang hidup. Islam telah menjadi sedemikan sadis dan penuh kebencian―Negara Islam dalam angan-angan Iqbal tentu penuh kasih, rahmatan lil alamin!
Kita beruntung, bapak bangsa Indonesia kita tidak sesempit Iqbal. Di sini, ada Kristen, Hindu, Budha, abangan, yang berbeda dengan Islam simbolik ala Iqbal. Atas keyakinan itulah Pancasila ada dan menjiwai konsitusi kita.
Tapi apa daya? Temanggung dan lain-lain itu membuat kita kembali berpikir, sudah tepatkah landasan negeri ini. Jangan-jangan, negara kita tak lebih dibangun dengan instrument pikiran yang canggih tapi ompong dalam penerapan. Konsep tentang kebebasan, persatuan, mungkin belum cocok diterima dalam pikiran "jahiliyah" sebagian besar anak bangsa.
Tapi timbul pertanyaan lagi, mengapa mereka ada? Tampaknya satu hal: mereka tidak dididik sebagaimana bapak bangsanya. Pendidikan belum mampu mencairkan kebekuan pikiran itu. Sebab kita tahu, di Indonesia kecerdasan hanya milik orang kaya! Sedangkan para penyerbu, hanya kaya akan angan-angan surga yang penuh bidadari...Duh, Temanggung!