Mohon tunggu...
Samdy Saragih
Samdy Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca Sejarah

-Menjadi pintar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, membaca. Kedua, berkumpul bersama orang-orang pintar.- Di Kompasiana ini, saya mendapatkan keduanya!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Luka Temanggung

8 Februari 2011   15:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:47 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang pria berumur 40-an masuk ke dalam kelas. Saya tidak mengerti apa tujuannya. Setelah mengucapakan salam kepada seisi kelas, dia mulai menjelaskan ihwal kedatangannya.

Jelas saja, dalam kelas SMP yang boleh dikata jauh dari pusat kota, kedatangan orang asing membuat saya penasaran. Apalagi si pria itu berbicara dengan logat Jawa pula. Selang berapa lama setelah perkenalan nama yang cukup hangat diapun menjelaskan asalnya: Temanggung! Dari sinilah saya pertama kali mendengar nama itu.

Saya tidak pernah mendengar daerah itu meskipun boleh dikata pelajaran geografi cukup saya kuasai. Entah sadar karena kami kebingungan, dia pun memberi petunjuk di mana letaknya. "Dekat Borobudur", katanya. Tentu saja saya tahu, Borobudur berada di Kabupaten Megelang. Berarti Temanggung adalah tetangganya.

Membayangkan Magelang, Jawa, dan Borobudur menimbulkan kesan posistif bagi saya. Di Magelang terdapat sebuah daerah yang mayoritas penduduknya beragama Katolik―satu-satunya di Pulau Jawa―bernama Muntilan. Tentu saja karena dulu misionaris menjadikannya sebagai basis penyebaran agama Katolik di Pulau Jawa. Dari Muntilan inilah uskup-uskup Katolik pribumi dididik seperti Soegiopranata yang kelak menjadi Uskup Semarang. Di situ pula Pastor Van Lith yang bernah berdiskusi tentang ke-Katolikan kepada Bung Karno mendarmabaktikan hidupnya.

Ditambah sebagai daerah "abangan" tentu saja pergulatan intens antar pemeluk agama tidak menimbulkan gesekan berarti. Dengan Borobudur sebagai Candi Budha terbesar di dunia, Magelang sudah menunjukkan betapa ketiga agama besar bisa hidup dalam harmoni.

Dengan faktor di atas wajar apabila Temanggung juga seperti tetangganya itu. Bagaimanapun, tak mungkin sebuah wilayah yang terpisah hanya oleh garis seukuran pematang sawah bisa memiliki watak yang bertolak belakang. Jika Magelang dianggap sebagai pusat, maka daerah lainnya harus menjadi refleksi.

Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Temanggung ternyata mampu dijadikan sarang teroris dalam tahun-tahun belakangan ini. Temanggung seolah ramah menerima ideologi-ideologi yang mengajarkan kebencian pada segala macam perbedaan. Maka tak heran, Noordin M Top beserta jaringan-jaringannya pernah tinggal di sana. Mereka melakukan perekrutan atas penduduk sekitar hingga menghasilkan "bom" manusia yang rela melakukan apa pun demi "membela" Tuhan.

Tapi tidak hanya itu. Hari ini, kita menyaksikan peristiwa yang lebih kelam lagi di Temanggung. Gereja diserang, dibakar oleh para pembela Tuhan. Para pelaku adalah orang yang tidak puas karena pengadilan dunia hanya menghukum ringan seorang penghina agama. Mereka frustasi, karena di dalam kepala mereka para penghina Tuhan dan Nabi, hukuman kurungan belumlah berarti. Darah para pencela itu halal untuk ditumpahkan ke tanah.

Peristiwa Temanggung mirip dengan kisah berdarah 15 tahun lalu di situbondo. Massa juga tersulut amarahnya hanya karena masalah sepele dan dalam tempo singkat membakar gereja-gereja dan membunuh beberapa di antaranya.

Namun saat itu bangsa ini masih punya Gus Dur. Dia turun langsung ke lapangan meninjau lokasi karena memang daerah tersebut basis organisasi pimpinannya, NU. Kini, kita tidak punya lagi sosok itu. Di saat kita butuh pemimpin yang dipercaya, tidak ada yang datang. Mereka hanya sibuk intruksi sana-sini yang seakan tak peduli pada nasib warganya.

Kita tahu, telah terjadi pelanggaran konstitusi. Tidak hanya di Temnggung, juga Pandeglang. Tempat di mana 3 orang "sesat" menjemput maut. Di negeri yang konstitusinya jelas menyatakan memberi perlindungan tanpa pandang bulu.

Lagi-lagi kita dipertunjukkan oleh barbarisme yang tak kunjung henti. Kita jelas bukan Pakistan di mana penghina agama bisa dihukum mati. Mereka tidak punya Pancasila, pun pengalaman hidup bersama dalam damai seperti di Magelang dan sekitarnya.

Di sana, seorang Gubernur Punjab harus menjadi martir bagi kebebasan. Berani membela sang penghina Nabi yang nasibnya tinggal menunggu maut. Salman Taseer nama gubernur itu. Tanpa takut selain pada kemunafikan, ia berani mengunjungi si pesakitan Asia Bibi dan menyerukan pengampunan. Tapi kita tahu beberapa hari kemudian pahlawan demokrasi itu tewas ditembak pengawalnya sendiri. Tentu, karena darah sangan majikan telah "halal"!

Itulah negeri sufi besar, sang Allama Mohammad Iqbal. Meski Iqbal-lah konseptor negara Islam Pakistan, pasti dia bakal sedih melihat kejadian negerinya andai sekarang hidup. Islam telah menjadi sedemikan sadis dan penuh kebencian―Negara Islam dalam angan-angan Iqbal tentu penuh kasih, rahmatan lil alamin!

Kita beruntung, bapak bangsa Indonesia kita tidak sesempit Iqbal. Di sini, ada Kristen, Hindu, Budha, abangan, yang berbeda dengan Islam simbolik ala Iqbal. Atas keyakinan itulah Pancasila ada dan menjiwai konsitusi kita.

Tapi apa daya? Temanggung dan lain-lain itu membuat kita kembali berpikir, sudah tepatkah landasan negeri ini. Jangan-jangan, negara kita tak lebih dibangun dengan instrument pikiran yang canggih tapi ompong dalam penerapan. Konsep tentang kebebasan, persatuan, mungkin belum cocok diterima dalam pikiran "jahiliyah" sebagian besar anak bangsa.

Tapi timbul pertanyaan lagi, mengapa mereka ada? Tampaknya satu hal: mereka tidak dididik sebagaimana bapak bangsanya. Pendidikan belum mampu mencairkan kebekuan pikiran itu. Sebab kita tahu, di Indonesia kecerdasan hanya milik orang kaya! Sedangkan para penyerbu, hanya kaya akan angan-angan surga yang penuh bidadari...Duh, Temanggung!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun