Mohon tunggu...
Saman Sinaga
Saman Sinaga Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

autis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relativisme dan Pluralisme

19 November 2011   01:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:29 4218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keseharian identik dengan ketidakpastian, sebab peradilan telah berubah menjadi sebuah selebrasi (perayaan) yang elegan tetapi rentan kepalsuan. Keseharian adalah kecemasan, sebab yang kecil-miskin menjadi tokoh-tokoh pelengkap penderita sandiwara sinetron kehidupan yang tak bermutu. Keseharian adalah keputusasaan, sebab Minah-Suyanto-Kholil-Parto-Sarjo-kesepuluh-anak-Tangerang tidak bisa mengucapkan pledoi sama sekali melainkan elegi.

Elegi mereka seakan menjadi eulogi keadilan negeri ini. Elegi adalah puisi ratapan. Eulogi memaksudkan kata-kata yang diucapkan untuk mengiringi penguburan. Tata keadilan hidup seakan telah berada di liang penguburan.

Formalisme telah seakan membuat kehidupan keseharian yang cerah menjadi redup oleh mendung keangkuhan hukum di satu pihak dan ketidakpastian tentang keadilan di lain pihak (simak juga bagaimana seorang suami yang kehilangan isterinya telah justru dipenjarakan dengan aneka tuduhan yang menjadi milik hukum tetapi absurd dari perspektif sehari-hari.)

Pertimbangan moral sebagai demikian diberikan oleh kesadaran manusia. Manusia sejauh memiliki kesadaran dalam tindakannya, dia selalu mengajukan nilai-nilai. Jadi diskusi mengenai nilai moral harus langsung diandaikan sejauh manusia ada, hidup, bertindak. Kesadaran dan kehidupan manusia adalah bukti yang secara fenomenal mengatakan tampilnya nilai-nilai. Mengenai benarnya eksistensi nilai sejauh manusia sadar, kita barangkali bisa membandingkannya dengan revolusi filsafat Descartes. Jika dalam Descartes cogito ergo sum (saya berpikir/sadar maka saya ada), dalam etika cogito (saya berpikir/sadar) maka saya mengajukan nilai-nilai.

Fenomen nilai muncul dari aktivitas penilaian kita terhadap orang lain/diri sendiri. Aktivitas penilaian ini menjadi ciri khas manusia. Kesadaran paling langsung dan serentak mengenai nilai jelas dalam kenyataan bahwa kita “menilai” diri sendiri dan orang lain. “Menilai” diri sendiri artinya kita melakukan paling sedikit kesadaran akan segala apa yang kita lakukan, rasakan, pikirkan, olah dan seterusnya. Kesadaran semacam ini jelas memproduksi nilai-nilai atau sangat mengandaikan paham-paham nilai-nilai. Bisakah dibayangkan orang menilai dirinya sendiri atau orang lain sekaligus menyangkal adanya nilai-nilai? Dalam kenyataan bahkan harus dikatakan bahwa suatu penilaian hanya mungkin apabila ada semacam paradigma tertentu mengenai nilai sebagai demikian.

Fenomen kewajiban dan nilai moral. Nilai moral bukan optional, melainkan wajib. Di hadapan nilai, kita tidak mungkin bersikap ya atau tidak. Nilai moral adalah fenomen kewajiban. Kesaksian tentang kewajiban ada dalam tindakan dan bahasa manusia sehari-hari. Kewajiban manusia hadir dalam tindakan dan bahasa, bukan pikiran. Bahasa melukiskan, mengungkapkan, memberikan wacana (referensi) atau yang semacamnya berkaitan dengan fenomen kewajiban. Tindakan mewujudkan kewajibannya. Dengan demikian, konfirmasi mengenai karakter normatif etika ada dalam keseharian hidup manusia. Karakter normatif etika dibuktikan dalam fenomen peristiwa-peristiwa kehidupan konkret.


Prinsip bonum faciendum & malum vitandum (kebaikan harus dilakukan dan keburukan harus dihindarkan) adalah penegasan realitas bahwa hidup manusia langsung menyentuh kewajiban moral. Mengapa kebaikan harus atau wajib dilakukan dan keburukan harus atau wajib dicegah? “Harus” artinya wajib, mutlak, tidak boleh tidak, punya daya ikat. Mengapa Baik itu punya daya ikat untuk dilakukan? Bagi Kant, karena itulah kodrat kebaikan. Kodrat Baik itu sekaligus mencetuskan “harus”. Bagi Aristoteles, kebaikan harus dilakukan karena menjanjikan kebahagiaan. Etika kebaikan Aristotelian bersifat teleologis, yaitu menuju kepada kebahagiaan. Dengan demikian, kebahagiaan jelas merupakan itu yang tidak datang dari sendirinya, tidak begitu saja diraih. Kebahagiaan adalah itu yang harus dikejar, diperjuangkan, diraih. Jika dalam Aristoteles, keharusan untuk menjalankan kebaikan menemukan alasannya pada tujuan kebahagiaan, dalam Kant keharusannya ada pada kodrat kebaikan itu sendiri. Bagi filsafat fenomenologi, kebaikan adalah fenomen yang memikat, mempesona, menarik untuk dikejar, diraih.

1.3.Relativisme dalam Teologi

Dewasa ini relativisme merambah pula wilayah teologi. Relativisme teologis kerap bergandengan dengan indiferentisme. Indiferentisme adalah sikap acuh tak acuh terhadap kebenaran iman. Indiferentisme mengalir dalam pola-pola tata hidup beriman yang tidak terarah. Segala yang merupakan imperatif hidup iman dipandang tidak penting.

Para penganut paham relativisme dalam teologi memandang bahwa eksklusivisme adalah sumber dari kekerasan bertajuk agama. Dari pengalaman pertemuan dengan agama-agama (dan budaya) lain di masa lampau, sikap agama Kristen mula-mula tercetus dalam sikap eksklusif. Agama-agama lain dipandang mengancam keberadaan agama Kristen. Aneka pandangan dan ajaran yang mengalir dari tradisi religius agama lain atau ajaran lain dianggap mengacau dan membahayakan keotentikan iman Kristen.[1] Dari sebab itu Gereja pertama-tama cenderung mengambil sikap mengalahkan, menundukkan agama-agama lain dan membela kebenaran sendiri.

Eksklusivisme agama Kristen di masa lampau muncul berbarengan dengan perjuangan pertama Gereja untuk menegaskan eksistensinya sebagai yang memiliki kebenaran satu-satunya yang dapat memberikan keselamatan.  Menurut Lucient Richard (1981), eksklusivisme agama Kristen Awali berakar pada pemahaman Gereja terhadap ajaran Perjanjian Baru yang menekankan keunikkan Kristus dan menegaskan finalitas sejarah keselamatan dalam diri Kristus.[2] Dalam Perjanjian Baru Kristus menjadi pusat pewartaan. Penekanan atas keunikan dan finalitas Kristus dilandaskan pada konsep Perjanjian Baru mengenai Inkarnasi dan eskatologi. Inkarnasi melukiskan "Ia adalah gambar Allah yang tak kelihatan, yang sulung, yang lebih utama daripada segala sesuatu" (Kol 1:15). Dan eskatologi menyatakan bagaimana pemenuhan sejarah keselamatan manusia telah terwujud di dalam manusia Kristus. Menurut Richard, pemahaman ini merupakan pemutlakan sekaligus pembekuan sejarah (keselamatan) manusia pada satu manusia dan pada satu saat sejarah saja.[3] Dan dengan demikian juga merupakan pemutlakan kebenaran iman Kristen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun