Mohon tunggu...
Saman Sinaga
Saman Sinaga Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

autis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Relativisme dan Pluralisme

19 November 2011   01:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:29 4218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pleasure Epicurian diteruskan oleh filosof Jeremy Bentham (1748-1832). Menurut Bentham, man necessarily seeks to have as much pleasure as he can and to avoid pain at all costs. “Nature has placed humankind under the government of two sovereign masters: pain and pleasure. It is for them alone to point out what we ought to do, as well as to determine what we shall do. On the one hand, the standard of right or wrong, on the other, the chain of causes and effects, are fastened to their throne. They (pain and pleasure) govern us in all we do, in all we think ...”  (Bentham, Jeremy. The Principles of Morals and Legislation (1789) Ch I, p. 1)

Bentham memandang dengan sangat jelas bahwa kehidupan manusia diatur dan ditata sedemikian rupa melulu pada pendasaran untuk menghindari derita dan mengejar kenikmatanPain and pleasuresedemikian kuatnya sehingga orang tidak bisa menghindarkan diri dari hegemoni/kekuasaan dua instansi ini (pain and pleasure). Segala pertimbangan, keputusan, dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari didasarkan pada pain and pleasure. Jeremy Bentham ini nantinya akan menginspirasikan etika utilitarian John Stuart Mill. Etika utilitarian berarti segala penilaian baik buruk atas tindakan manusia didasarkan semata-mata pada soal berguna atau tidak berguna.

1.2. Relativisme dan Krisis Nilai

Seringkali disimpulkan bahwa dewasa ini relativisme telah menyebabkan krisis nilai. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam krisis nilai? Krisis nilai kerap kali dikaitkan dengan merosotnya nilai-nilai moral kehidupan. Apa artinya nilai moral mengalami kemerosotan? Fenomen tindakan korupsi dipandang wajar. Kekerasan terhadap manusia, main hakim sendiri, perkosaan, pemukulan (guru terhadap anak didik / juga anak didik terhadap gurunya), perampokan, pembacokan, dan teror merebak di mana-mana. Tambahan lagi, praktek aborsi ilegal di mana-mana menjadikan tindakan “membunuh  janin” serentak seakan-akan menjadi jalan wajar untuk memecahkan masalah kehamilan yang tidak dikehendaki. Di dalam fenomen-fenomen ini, yang terjadi sebenarnya bukan nilai-nilai mengalami proses relatifnya, melainkan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri langsung tidak mendapat penghormatan yang secukupnya. Manusia mengalami proses pendangkalan dalam menghayati kehidupannya, kehidupan sesamanya, dan kehidupan bersamanya dengan orang lain. Krisis nilai dengan demikian tidak sama sekedar sebagai suatu krisis konsep atau gagasan atau ide mengenai kebaikan. Krisis nilai adalah krisis kehidupan dalam artian etis dan moral secara mendalam, real, konkret.

Krisis nilai dalam artian filosofis terjadi sejak Nietzsche, karena dia memproklamasikan kematian Allah. Kematian Allah berarti lenyapnya segala pendasaran moral/etika/nilai. Nilai kehilangan pondasi terakhirnya. Karena Allah “dibunuh”, nilai menjadi kalang kabut. Bukan hanya agama yang ditindas, tetapi juga kehidupan lantas kehilangan kepastiannya. Di sini tidak dimaksudkan seakan-akan Allah mati seperti manusia mati. Maksudnya, Nietzsche dengan proklamasinya mengenai kematian Allah telah merobohkan pondasi paling akhir dari moralitas/etika manusia. Mengenai dasar-dasar etis/moral lantas harus dicari dari dalam diri manusia itu sendiri.

Bagaimana melegitimasi eksistensi nilai moral di hadapan Nietzsche? Argumentasi apa yang hendak kita katakan pada Nietzsche? Penolakan moral dalam kehidupan nyata oleh Nietzsche mendapat tanggapan hebat dari kalangan filosof fenomenologis yang mengajukan kesadaran-kesadaran baru mengenai nilai moral. Bahwa dalam menyimak fenomen-fenomen kehidupan kiranya naif jika tidak mengakui realitas nilai. Dapatkah kita membutakan diri terhadap aneka kekerasan dan ketidakadilan yang nyata dalam masyarakat dan memandangnya melulu sebagai peristiwa tanpa nilai.


Sebutlah misalnya (ini peristiwa masa lampau) seorang pengemudi becak yang terpaksa menggantung diri karena ada peraturan baru dilarang membecak di kota Jakarta, padahal becak baru satu minggu yang lalu dibeli dengan kredit yang berbunga 50% per bulan. Dapatkah kita berkata bahwa itu hanya sebuah peristiwa tanpa ada nilai-nilai yang menyertai dan berpartisipasi dalam peristiwa itu? Atau, seorang nenek renta yang mencari makan untuk menyambung hidupnya dengan mencuri daun pisang di tanah milik tetangga dibunuh oleh sang pemilik tanah karena kesal dan jengkel terhadap perbuatan mencuri dari si nenek. Dapatkah kita melihat peristiwa kematian ngenas dari sang nenek renta tersebut hanya sebagai suatu fenomen biasa tanpa nilai, misalnya nilai keadilan yang dirampas oleh sang pemilik tanah dari hidup sang nenek?

Atau, Salah satu bukti krisis nilai di Indonesia ialah apa yang saya ingin sebut sebagai formalisme.Formalisme di Indonesia (dan ini mengatakan sebuah krisis) bermula dari aneka perkara artifisial (perkara-perkara politis yang seolah-olah dibuat-buat saja). Simak bagaimana perkara Bibit-Chandra telah mendominasi headlines seluruh surat kabar Indonesia. Dan, ternyata itu tidak ada apa-apa. Sebuah rekayasa belaka. Ternyata “cicak sedang berhadapan dengan buaya” saja. Perkara hukum Luna Maya yang mencela para wartawan infortainment, dan kita semua dibuat terbengong-bengong. Ternyata, tidak ada apa-apa. Itu dua tiga kata dalam Twiter yang menjadi ungkapan kegatalan dan kejengkelan si Luna.

Formalisme membuat tata hidup bersama berada dalam tataran yang paling rendah. What is at stake(apa yang dipertaruhkan) dalam formalisme? Lenyapnya kepastian. Tidak ada lagi makna kepastian kebenaran dalam keseharian di satu pihak dan kita seakan malah disergap oleh krudelitas (kekejaman) sistem keadilan yang absurd dan nyleneh.

Pritasari beberapa waktu yang lalu (yang bergumul dengan pengadilan absurd karena sebuah email keluhan), Minah (yang mengucapkan elegi di pengadilan atas pencurian tiga kakao), kesepuluh anak SD Tangerang (yang diseret ke meja hijau lantara bermain “judi-judian”), Suyanto dan Kholil (yang dituntut dua bulan penjara karena dua buah semangka), Parto (yang diancam lima tahun bui karena memangkas lima batang pohon jagung untuk tambahan makan kambingnya), Sarjo 77 tahun (yang dipenjarakan atas perkara dua batang sabun dan sebungkus kacang seharga Rp. 13.450), mereka semua adalah emblem keseharian hidup kita yang sarat ketidakpastian. Dan, masih banyak lagi kawan-kawan mereka yang senasib ditelan krudelitas (kejamnya) dan absurditas (“kenylenehan”) tata hukum negeri ini.

Sementara itu, para mafiosi peradilan, para makelar kasus, para penegak hukum yang korup, para koruptor  dan yang sejenisnya tidak bisa ditahan karena kekurangan bukti perkaranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun