Feminisme di Indonesia telah berakar dan berkembang selama lebih dari seratus tahun, menorehkan sejarah panjang yang penuh warna dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender. Meski istilah "feminisme" kerap disalahpahami atau bahkan ditolak oleh sebagian masyarakat karena dianggap sebagai ideologi asing, perjuangan perempuan Indonesia sejatinya sudah sejalan dengan berbagai prinsip feminis yang menuntut keadilan dan pembebasan dari diskriminasi.
Akar Sejarah dan Konteks Kolonialisme
Perjuangan feminisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks kolonialisme yang berlangsung lama di bawah kekuasaan Belanda. Meski sejarah resmi seringkali mengabaikan atau menyingkapkan nama perempuan dalam narasi perjuangan nasional, perempuan-perempuan revolusioner seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan Rohana Kudus tampil sebagai pionir yang memperjuangkan pendidikan dan hak-hak perempuan. Organisasi perempuan pun mulai muncul sejak awal abad ke-20, seperti Putri Mardika dan Aisyiyah, yang turut menyuarakan tuntutan hak pilih dan kesetaraan dalam berbagai bidang.
Feminisme di Masa Nasionalisme dan Era Orde Baru
Gerakan perempuan di masa nasionalisme dan Orde Baru mengalami pasang surut. Gerwani, yang sempat menjadi organisasi perempuan terbesar dan progresif di era demokrasi liberal, dilenyapkan secara brutal pada masa Orde Baru yang represif, di mana gerakan sosial, terutama yang berafiliasi dengan politik kiri, mengalami penindasan keras. Orde Baru pun menggantikan keberadaan organisasi perempuan progresif dengan organisasi yang lebih "aman" seperti PKK, yang lebih berperan sebagai alat negara untuk mendukung program pembangunan tanpa agenda jelas pemberdayaan perempuan.
Kebangkitan dan Pemikiran Feminis Kontemporer
Era Reformasi sejak 1998 menjadi titik balik kebangkitan pemikiran feminis di Indonesia. Pemikiran feminis mulai berkembang di kalangan akademisi dan aktivis melalui penelitian, publikasi, dan gerakan sosial yang menyoroti perspektif gender, kekerasan terhadap perempuan, dan hak-hak reproduksi. Demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok Suara Ibu Peduli (SIP) pada tahun 1998 menjadi salah satu simbol perjuangan feminis yang cerdas dan strategis, dengan menggunakan simbolisme "ibu" sebagai kamuflase untuk menentang rezim otoriter Soeharto secara subversif.
Tantangan dalam Melawan Konservatisme
Meski telah ada kemajuan, feminisme di Indonesia menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok konservatif dan fundamentalis agama yang menolak berbagai gagasan feminis, hak-hak seksual, dan kesetaraan gender. Peraturan daerah diskriminatif yang mengatur moralitas perempuan dan membatasi kebebasan mereka kerap dijadikan alat untuk menjaga status quo patriarki. Proses legislasi yang menunda pengesahan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender serta RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menandai betapa kuatnya resistensi terhadap agenda feminis.
Peran Femokrat dan Strategi Politik Feminisme
Femokrat---feminis yang bekerja di dalam struktur negara---memegang peran penting dalam memajukan kebijakan pro-perempuan, meski seringkali terhambat oleh birokrasi patriarkal. Tokoh seperti Sri Mulyani berhasil menunjukkan bagaimana pendekatan gender dapat diintegrasikan dalam kebijakan pembangunan nasional untuk memberdayakan perempuan secara ekonomi dan sosial. Selain itu, kolaborasi antara akademisi feminis, aktivis, dan lembaga negara seperti Komnas Perempuan menjadi penting dalam memperkuat advokasi hak perempuan.