Fenomena revolusi industri telah membuka jalan bagi manusia untuk menjadikan batubara, minyak bumi, dan gas alam sebagai tulang punggung energi global sekaligus penggerak utama pertumbuhan industri. Namun, tidakkah kini kita harus bertanya: berapa lama lagi bumi mampu menanggung beban dari ketergantungan energi kotor ini dan harus membayar mahal melalui krisis iklim yang kian nyata?
Pertanyaan itu semakin relevan ketika data terbaru menunjukkan bahwa tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern, dengan suhu rata-rata global untuk pertama kalinya melampaui ambang 1,5C. Di kawasan Pasifik Barat, termasuk perairan Indonesia, gelombang panas laut meluas hingga puluhan juta kilometer persegi, memicu pemutihan massal terumbu karang. Dampaknya bukan hanya bagi ekosistem laut, tetapi juga bagi nelayan dan komunitas pesisir yang bergantung padanya. Di daratan, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan yang semakin intens telah memengaruhi jutaan warga Indonesia dalam dua tahun terakhir.
Di balik semua kenyataan pahit itu, ada satu benang merah yang sulit diabaikan, yaitu tentang penggunaan energi fosil yang begitu dominan. Di Indonesia sendiri, batubara masih menyumbang lebih dari 60% pembangkit listrik nasional, selain itu minyak bumi juga menopang transportasi dan industri, sementara gas alam yang kerap dianggap lebih bersih nyatanya tetap menghasilkan emisi. Ketiga sumber energi ini kerap disebut sebagai energi kotor, dan justru menjadi paradoks besar dalam perjalanan Indonesia menuju target Net-Zero Emissions 2060.
Hal tersebut kemudian bergulir pada bagaimana Indonesia bisa menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan iklim. Salah satu langkah awal yang sudah diambil adalah peluncuran IDXCarbon pada September 2023, sebuah mekanisme pasar yang memungkinkan perusahaan memperjualbelikan izin emisi. Namun, instrumen yang dianggap lebih tegas, yakni pajak karbon, masih menyisakan tanda tanya. Padahal, pemerintah telah menyiapkannya melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada Oktober 2021. Rencana penerapan yang semula dijadwalkan pada 2022 berulang kali tertunda, hingga kini pemerintah menargetkan implementasi penuh pada 2027. Penundaan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk mematangkan regulasi pajak karbon, meski di sisi lain menimbulkan pertanyaan apakah waktu yang tersisa cukup untuk mengejar impian net-zero 2060.
Pajak karbon sering kali dipuji sebagai instrumen andalan untuk menekan emisi.Â
Logikanya sederhana: semakin tinggi biaya emisi, semakin besar dorongan bagi industri untuk beralih pada energi bersih. Dengan cara ini, kebijakan tersebut diharapkan mampu memicu perubahan perilaku, mendorong inovasi, sekaligus menambah pemasukan negara. Namun, praktik di lapangan tidak selalu seindah teori. Di Prancis, rencana kenaikan pajak bahan bakar justru memicu gelombang protes Yellow Vests karena dianggap menekan kelompok berpendapatan menengah ke bawah. Pengalaman ini menunjukkan bahwa pajak karbon memiliki sifat regresif dan menyebabkan rumah tangga yang berpendapatan rendah menanggung beban lebih besar karena pengeluaran energi menyerap porsi signifikan dari pendapatan mereka. Tanpa mekanisme kompensasi yang adil, kebijakan ini lebih menyerupai hukuman daripada solusi.
Setiap kebijakan iklim selalu membawa konsekuensi distribusi beban. Dalam konteks pajak karbon, kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan UMKM justru berisiko paling terdampak karena kenaikan harga energi langsung menyentuh biaya hidup dan ongkos produksi mereka. Berbeda dengan korporasi besar yang mempunyai ruang untuk melakukan diversifikasi energi atau bahkan melimpahkan biaya tambahan ke pihak yang lebih rendah.
Ketika berbicara soal siapa yang paling dirugikan oleh pajak karbon, pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa beban tidak jatuh secara merata. Di Afrika Selatan, misalnya, pajak karbon yang mulai berlaku pada 2019 membuat banyak usaha mikro dan menengah kesulitan menutupi biaya energi yang meningkat. Tanpa kapasitas teknologi untuk beralih ke energi bersih, mereka tak punya pilihan selain mengalihkan beban itu dan akhirnya menyebabkan kerugian.
Indonesia berada di persimpangan yang serupa, bahkan mungkin lebih rawan.
Ekonomi kita memang tumbuh stabil, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kita banyak bertumpu pada UMKM dan sektor informal yang menyerap hampir seluruh tenaga kerja. Bayangkan jika kebijakan pajak karbon diterapkan tanpa kompensasi yang adil sementara rumah tangga berpendapatan rendah sudah terbebani dengan pengeluaran energi seperti listrik, transportasi, hingga gas elpiji yang turut menggerus pendapatan mereka. Justru yang akan terjadi adalah harga bahan pokok bisa melonjak, daya beli rakyat melemah, melebarnya kesenjangan sosial.
Risiko lain juga menghantui Indonesia. Sejak peluncuran Bursa Karbon pada 2023, pengamat sudah mengingatkan bahwa lemahnya verifikasi emisi bisa membuka peluang manipulasi data dan pencitraan (greenwashing). Kondisi ini menegaskan bahwa pajak karbon belum tentu menghadirkan keadilan iklim. Tanpa mekanisme kompensasi yang berpihak pada kelompok rentan dan tanpa pengawasan ketat terhadap industri besar, kebijakan ini berisiko berubah menjadi beban timpang dan masyarakat berpendapatan rendah  menanggung lebih banyak sementara yang memiliki kuasa justru menemukan celah untuk menghindar.
Lalu, apakah kebijakan pajak karbon seburuk itu?
Jawabannya adalah tentu tidak adil bila pajak karbon hanya dilihat dari sisi negatifnya. Instrumen ini pada dasarnya dirancang sebagai jalan transisi menuju ekonomi rendah karbon. Jika diterapkan dengan hati-hati, ia justru bisa menjadi pemicu lahirnya inovasi energi bersih dan investasi hijau yang membuka lapangan kerja baru. Dalam banyak kasus, penerapan pajak karbon di negara lain berhasil mengurangi emisi tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi secara drastis. Kuncinya terletak pada rancangan kebijakan yang peka terhadap kondisi sosial masyarakat, termasuk mekanisme kompensasi yang mampu melindungi kelompok rentan dan diterapkan bertahap. Untuk itu, ada beberapa implikasi kebijakan yang perlu dipikirkan sejak sekarang. Pertama, penerapan pajak karbon sebaiknya disertai dengan program subsidi silang atau insentif langsung bagi masyarakat berpendapatan rendah. Kedua, hasil penerimaan pajak harus diarahkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur energi bersih dan program adaptasi iklim. Ketiga, transparansi dan pengawasan mutlak diperlukan agar kebijakan tidak berubah menjadi sarana greenwashing yang merugikan rakyat. Dengan langkah seperti ini, pajak karbon tidak lagi dipandang sebagai beban semata, melainkan sebagai langkah strategis yang mampu menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Target Net-Zero Emissions memang terdengar ambisius, tetapi bukan berarti mustahil.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah, mulai dari panas bumi, tenaga surya, hingga angin. Jika arah kebijakan energi diarahkan dengan lebih konsisten, ketergantungan pada energi kotor bisa dikurangi secara bertahap. Komitmen menuju netralitas karbon bukan hanya tentang menghindari bencana iklim, tetapi juga tentang mewariskan bumi yang layak huni kepada generasi mendatang.
Harapannya, pemerintah tidak mengulang kesalahan kebijakan yang justru menambah kemarahan publik. Tahun 2027 akan menjadi momentum penting untuk membuktikan apakah pajak karbon benar-benar dijalankan sebagai instrumen keberlanjutan atau justru kebijakan yang kemudian mengecewakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI