Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru di Persimpangan Penilaian: Keikhlasan atau Keterpaksaan Memberi?

11 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 10 Oktober 2025   22:32 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: klikhijau.com

GURU DI PERSIMPANGAN PENILAIAN: KEIKHLASAN ATAU KETERPAKSAAN MEMBERI?

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Benarkah guru gemar bersedekah nilai? Pertanyaan ini menggelitik nalar banyak orang. Di tengah realitas kehidupan pendidikan yang semakin menuntut capaian angka dan kelulusan, muncul kecenderungan sebagian guru untuk "mempermudah" penilaian demi menyenangkan banyak pihak. Nilai bukan lagi cerminan objektif dari capaian belajar, melainkan menjadi bentuk belas kasih, toleransi berlebih, atau tekanan tak tertulis agar semua siswa lulus dan terlihat berhasil. Dalam konteks ini, "bersedekah nilai" bukan lagi tentang memberi ruang tumbuh bagi anak, tetapi bisa menjadi jebakan yang menghilangkan makna dari evaluasi itu sendiri.

Input gambar: istockphoto.com
Input gambar: istockphoto.com
Realitas penilaian yang "terlalu baik" di berbagai jenjang pendidikan bukanlah hal yang asing. Fenomena ini terlihat dari tren nilai siswa yang cenderung tinggi dan merata, meskipun kualitas pemahaman dan penguasaan materi sering kali belum mencerminkan angka tersebut. Di balik angka-angka yang memuaskan itu, muncul pertanyaan kritis: apakah penilaian seperti ini lahir dari keikhlasan guru untuk memotivasi siswa, bentuk belas kasih terhadap kondisi mereka, atau justru merupakan hasil dari tekanan sistemik, baik dari sekolah, orang tua, maupun kebijakan yang menuntut hasil indah di atas kertas? Ketika guru berada dalam persimpangan antara memberi nilai sebagai bentuk pembinaan atau sebagai bentuk kepatuhan pada ekspektasi eksternal, maka integritas penilaian pun ikut dipertaruhkan.

Penilaian dalam pendidikan bukan sekadar proses memberi angka atau huruf pada hasil belajar siswa, melainkan cerminan dari sejauh mana kompetensi, pemahaman, dan keterampilan telah dicapai. Penilaian yang bermakna harus mampu menunjukkan kekuatan dan kelemahan siswa secara objektif, sehingga menjadi dasar bagi perbaikan pembelajaran. Lebih dari itu, penilaian adalah sarana untuk menumbuhkan kejujuran, tanggung jawab, dan motivasi dalam diri peserta didik. Jika proses ini dikaburkan oleh praktik "bersedekah nilai" demi menjaga citra atau menghindari konflik, maka penilaian kehilangan fungsinya sebagai alat refleksi dan pembentuk karakter.

Dalam tanggung jawabnya, Guru tidak hanya berhadapan dengan siswa di ruang kelas, tetapi juga dengan berbagai tekanan sosial dan institusional yang memengaruhi cara mereka memberi penilaian. Harapan orang tua agar anaknya selalu mendapatkan nilai tinggi, dorongan sekolah untuk mempertahankan citra baik, serta kebijakan pendidikan yang menekankan angka kelulusan, yang semuanya seperti menciptakan tekanan terselubung bagi guru. Dalam kondisi seperti ini, guru sering kali merasa terjebak antara menjaga idealisme penilaian objektif dan memenuhi ekspektasi lingkungan.

Input gambar: captwapri.id
Input gambar: captwapri.id
Di balik lembar penilaian, guru sering kali dihadapkan pada dilema moral yang tidak sederhana. Di satu sisi, mereka ingin berlaku adil dan objektif dalam menilai kemampuan siswa sesuai dengan capaian sebenarnya. Namun di sisi lain, muncul dorongan untuk memberi kelonggaran demi menjaga semangat belajar, menghindari tekanan emosional siswa, atau karena rasa iba terhadap kondisi tertentu.

Keputusan untuk "menaikkan sedikit" nilai siswa bisa jadi terasa benar secara kemanusiaan, tetapi menyisakan pertanyaan etis dalam ranah profesional. Ketika belas kasih melampaui batas objektivitas, guru justru berisiko menanamkan ilusi keberhasilan dan melemahkan daya juang siswa dalam menghadapi tantangan nyata.

Beberapa poin penting perlu diperhatikan terkait permasalahan tersebut. Pertama, pemahaman mendalam tentang fungsi penilaian sebagai alat refleksi capaian belajar, bukan sekadar formalitas administrasi. Kedua, kesadaran akan potensi tekanan sosial dan institusional yang dapat memengaruhi objektivitas guru dalam memberi nilai. Ketiga, pentingnya membangun keseimbangan antara empati terhadap kondisi siswa dan tanggung jawab profesional untuk menjaga kejujuran akademik. Keempat, perlunya dukungan sistemik, baik dari kebijakan sekolah maupun kurikulum nasional agar guru merasa aman dan berdaya dalam menilai secara jujur. Kelima, membudayakan dialog terbuka antara guru, orang tua, dan pemangku kebijakan untuk membentuk pemahaman bersama bahwa nilai bukan hadiah, melainkan cerminan proses belajar yang bermakna.

Input gambar: klikhijau.com
Input gambar: klikhijau.com
Penting memahami bahwa penilaian bukan sekadar proses administratif, melainkan cerminan integritas seorang guru. Nilai yang diberikan guru seharusnya mampu merepresentasikan usaha, kemampuan, dan perkembangan nyata siswa, bukan sekadar bentuk simpati atau pelampiasan tekanan dari luar. Oleh karena itu, penting bagi setiap guru untuk meneguhkan kembali komitmen terhadap kejujuran akademik dan keadilan dalam menilai.

Membangun empati terhadap kondisi siswa memang penting, tetapi harus tetap diseimbangkan dengan objektivitas agar nilai yang diberikan benar-benar mendidik, bukan meninabobokan. Karena itu, diperlukan ruang kebijakan yang memberi dukungan kepada guru untuk jujur dalam menilai tanpa takut disalahkan atau ditekan. Sebab hanya dalam iklim yang sehat dan suportif, guru dapat menjalankan tugas penilaiannya dengan hati yang tenang, kepala yang jernih, dan nilai-nilai yang bermakna.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun