GURU DI PERSIMPANGAN PENILAIAN: KEIKHLASAN ATAU KETERPAKSAAN MEMBERI?
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Benarkah guru gemar bersedekah nilai? Pertanyaan ini menggelitik nalar banyak orang. Di tengah realitas kehidupan pendidikan yang semakin menuntut capaian angka dan kelulusan, muncul kecenderungan sebagian guru untuk "mempermudah" penilaian demi menyenangkan banyak pihak. Nilai bukan lagi cerminan objektif dari capaian belajar, melainkan menjadi bentuk belas kasih, toleransi berlebih, atau tekanan tak tertulis agar semua siswa lulus dan terlihat berhasil. Dalam konteks ini, "bersedekah nilai" bukan lagi tentang memberi ruang tumbuh bagi anak, tetapi bisa menjadi jebakan yang menghilangkan makna dari evaluasi itu sendiri.
Penilaian dalam pendidikan bukan sekadar proses memberi angka atau huruf pada hasil belajar siswa, melainkan cerminan dari sejauh mana kompetensi, pemahaman, dan keterampilan telah dicapai. Penilaian yang bermakna harus mampu menunjukkan kekuatan dan kelemahan siswa secara objektif, sehingga menjadi dasar bagi perbaikan pembelajaran. Lebih dari itu, penilaian adalah sarana untuk menumbuhkan kejujuran, tanggung jawab, dan motivasi dalam diri peserta didik. Jika proses ini dikaburkan oleh praktik "bersedekah nilai" demi menjaga citra atau menghindari konflik, maka penilaian kehilangan fungsinya sebagai alat refleksi dan pembentuk karakter.
Dalam tanggung jawabnya, Guru tidak hanya berhadapan dengan siswa di ruang kelas, tetapi juga dengan berbagai tekanan sosial dan institusional yang memengaruhi cara mereka memberi penilaian. Harapan orang tua agar anaknya selalu mendapatkan nilai tinggi, dorongan sekolah untuk mempertahankan citra baik, serta kebijakan pendidikan yang menekankan angka kelulusan, yang semuanya seperti menciptakan tekanan terselubung bagi guru. Dalam kondisi seperti ini, guru sering kali merasa terjebak antara menjaga idealisme penilaian objektif dan memenuhi ekspektasi lingkungan.
Keputusan untuk "menaikkan sedikit" nilai siswa bisa jadi terasa benar secara kemanusiaan, tetapi menyisakan pertanyaan etis dalam ranah profesional. Ketika belas kasih melampaui batas objektivitas, guru justru berisiko menanamkan ilusi keberhasilan dan melemahkan daya juang siswa dalam menghadapi tantangan nyata.
Beberapa poin penting perlu diperhatikan terkait permasalahan tersebut. Pertama, pemahaman mendalam tentang fungsi penilaian sebagai alat refleksi capaian belajar, bukan sekadar formalitas administrasi. Kedua, kesadaran akan potensi tekanan sosial dan institusional yang dapat memengaruhi objektivitas guru dalam memberi nilai. Ketiga, pentingnya membangun keseimbangan antara empati terhadap kondisi siswa dan tanggung jawab profesional untuk menjaga kejujuran akademik. Keempat, perlunya dukungan sistemik, baik dari kebijakan sekolah maupun kurikulum nasional agar guru merasa aman dan berdaya dalam menilai secara jujur. Kelima, membudayakan dialog terbuka antara guru, orang tua, dan pemangku kebijakan untuk membentuk pemahaman bersama bahwa nilai bukan hadiah, melainkan cerminan proses belajar yang bermakna.
Membangun empati terhadap kondisi siswa memang penting, tetapi harus tetap diseimbangkan dengan objektivitas agar nilai yang diberikan benar-benar mendidik, bukan meninabobokan. Karena itu, diperlukan ruang kebijakan yang memberi dukungan kepada guru untuk jujur dalam menilai tanpa takut disalahkan atau ditekan. Sebab hanya dalam iklim yang sehat dan suportif, guru dapat menjalankan tugas penilaiannya dengan hati yang tenang, kepala yang jernih, dan nilai-nilai yang bermakna.(*)