Mohon tunggu...
Salmun Ndun
Salmun Ndun Mohon Tunggu... Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain

Membaca itu sehat dan menulis itu hebat. Membaca adalah menghela dunia masuki pikiran dan menulis adalah mengantar pikiran masuki dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

ASN dan Bank: Menyoroti Praktik "Menyekolahkan SK" Demi Kebutuhan Konsumtif

4 Oktober 2025   06:00 Diperbarui: 3 Oktober 2025   22:09 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input gambar: rbtv.disway.id

ASN DAN BANK: MENYOROTI PRAKTIK "MENYEKOLAHKAN SK" DEMI KEBUTUHAN KONSUMTIF

*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao

Input gambar: jadiasn.id
Input gambar: jadiasn.id
Dalam kehidupan birokrasi di Indonesia, status sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) kerap dianggap sebagai simbol kestabilan ekonomi dan keamanan kerja jangka panjang. Tidak hanya menjanjikan gaji tetap setiap bulan, tetapi juga membawa kepastian akan tunjangan dan pensiun. Di tengah iklim ekonomi yang semakin menantang dan gaya hidup yang semakin konsumtif, kondisi ini menjadikan ASN sebagai segmen yang sangat diminati oleh lembaga perbankan untuk penyaluran kredit.

Dengan iming-iming kemudahan pinjaman berbunga rendah dan proses cepat, banyak bank berlomba menawarkan program khusus untuk ASN, bahkan sejak mereka masih calon pegawai. Salah satu praktik yang kini menjadi sorotan adalah penggunaan Surat Keputusan (SK) pengangkatan ASN sebagai jaminan kredit, sebagai sebuah praktik yang kian dianggap wajar namun menyimpan banyak persoalan di balik kemudahannya.

"Menyekolahkan SK" merupakan sebuah istilah populer di kalangan ASN yang menggambarkan praktik menjadikan SK pengangkatan sebagai jaminan pinjaman ke bank. Praktik ini bukan lagi sekadar pilihan darurat, tetapi telah menjadi semacam "budaya baru" di lingkungan ASN, terutama bagi mereka yang ingin segera memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus menunggu tabungan cukup terkumpul.

Alih-alih digunakan untuk kebutuhan mendesak seperti biaya kesehatan atau pendidikan, tak sedikit ASN yang memanfaatkan pinjaman ini untuk keperluan konsumtif seperti membeli kendaraan mewah, membangun atau merenovasi rumah secara besar-besaran, bahkan membiayai liburan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah SK sebagai simbol pengabdian telah bergeser menjadi alat pemuas hasrat konsumtif semata?

Input gambar: newsdetik.com
Input gambar: newsdetik.com
Sebuah potret realitas bahwa SK telah menjadi komoditas finansial saat ini. Di mata perbankan, SK ASN bukan lagi sekadar dokumen administratif, melainkan aset yang bernilai ekonomi. Surat keputusan pengangkatan dianggap sebagai jaminan paling aman karena menjamin penghasilan tetap hingga masa pensiun. Inilah yang membuat bank begitu agresif menawarkan kredit kepada ASN dengan proses mudah dan bunga yang bersaing.

Bahkan, beberapa lembaga keuangan telah menjadikan ASN sebagai target pasar utama produk pinjaman konsumtif. Akibatnya, SK yang seharusnya menjadi simbol kepercayaan dan tanggung jawab negara, kini diperlakukan layaknya jaminan barang bergerak yang bisa "ditukar" dengan uang tunai cepat. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran nilai: dari semangat pengabdian, menuju jebakan utang yang dibungkus dalam janji kesejahteraan instan.

Salah satu alasan utama di balik maraknya praktik "menyekolahkan SK" adalah dorongan gaya hidup yang melebihi kemampuan finansial. Banyak ASN yang merasa perlu mengikuti standar hidup tertentu demi pencitraan sosial, mulai dari membeli kendaraan baru, merenovasi rumah secara mewah, hingga membiayai liburan dan belanja barang bermerek. Tanpa perencanaan keuangan yang matang, mereka memilih jalan pintas dengan menggadaikan SK untuk mendapatkan dana cepat.

Sayangnya, keputusan ini sering kali tidak diiringi dengan kesadaran akan konsekuensi jangka panjang. Gaji bulanan yang seharusnya menopang kebutuhan hidup akhirnya tersedot untuk membayar cicilan, meninggalkan sedikit ruang untuk tabungan atau kebutuhan mendesak lainnya. Ketika konsumsi menjadi prioritas dibanding kestabilan, maka SK yang seharusnya menjadi simbol keamanan, justru berubah menjadi awal dari ketidakpastian keuangan.

Input gambar: youtube.com
Input gambar: youtube.com
Praktik "menyekolahkan SK" untuk memenuhi kebutuhan konsumtif menyisakan dampak jangka panjang yang serius, baik bagi individu ASN maupun stabilitas keuangan rumah tangganya. Ketika sebagian besar gaji telah dipotong secara otomatis oleh bank sebagai cicilan pinjaman, ruang gerak keuangan ASN menjadi sempit. Situasi ini menciptakan tekanan psikologis yang tidak kecil, terlebih jika muncul kebutuhan mendesak di luar rencana. Tak sedikit ASN yang kemudian terpaksa mengambil pinjaman tambahan, entah dari bank lain, koperasi, atau bahkan rentenir demi menutup kebutuhan yang tidak lagi bisa dibiayai dari sisa gaji.

Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan lingkaran utang yang membelenggu, menurunkan produktivitas kerja, dan dalam beberapa kasus ekstrem, menimbulkan konflik dalam keluarga karena tekanan ekonomi yang berkepanjangan. Di sisi lain, beban pinjaman yang berjalan hingga masa pensiun juga mengancam kesejahteraan hari tua ASN, karena sebagian dana pensiun akan tersedot untuk pelunasan sisa cicilan.

Bila praktik ini terus dibiarkan tanpa intervensi berupa edukasi finansial dan kebijakan pengawasan yang bijak, maka bukan hanya ASN yang menanggung akibatnya, tetapi juga sistem birokrasi yang perlahan kehilangan kualitas karena aparaturnya sibuk bertahan dalam beban ekonomi.

Fenomena menyekolahkan SK seharusnya menjadi alarm bagi instansi pemerintah untuk lebih serius membangun kesadaran finansial di kalangan ASN. Literasi keuangan perlu ditanamkan sejak dini, bahkan sejak tahap pra-penempatan, agar para ASN memiliki pemahaman tentang pengelolaan keuangan yang bijak dan bertanggung jawab. Selain itu, pemerintah perlu menyusun regulasi yang mengatur batasan maksimal pemotongan gaji untuk cicilan, agar tidak mengganggu kebutuhan dasar hidup ASN.

Di sisi lain, bank dan lembaga keuangan juga harus lebih etis dalam menawarkan produk pinjaman, dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan edukasi risiko. Hanya dengan pendekatan kolaboratif antara ASN, pemerintah, dan lembaga keuangan agar budaya berutang berbasis SK dapat dialihkan menjadi budaya hidup hemat dan perencanaan keuangan jangka panjang yang sehat.

Input gambar: rbtv.disway.id
Input gambar: rbtv.disway.id
Praktik "menyekolahkan SK" memang menawarkan solusi instan bagi kebutuhan finansial, tetapi jika tidak disertai dengan kesadaran dan tanggung jawab, bisa menjadi jebakan jangka panjang yang merugikan. ASN sebagai garda terdepan pelayanan publik seharusnya menjadi contoh dalam hal integritas, termasuk dalam mengelola keuangan pribadi.

Maka sudah saatnya setiap ASN merefleksikan kembali nilai dari SK yang mereka pegang, bukan hanya sebagai jaminan penghasilan, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga dengan bijak. Bijak mengatur keuangan, hidup sesuai kemampuan, dan merencanakan masa depan dengan realistis adalah bagian dari pengabdian yang tak kalah penting. Jangan sampai SK yang seharusnya menjadi simbol masa depan, justru menjadi beban masa depan.

Sebagai penguatan, penting bagi setiap ASN untuk memahami bahwa kestabilan finansial bukan ditentukan oleh besarnya penghasilan, tetapi oleh kebijaksanaan dalam mengelola dan memprioritaskan kebutuhan. Harapannya, dengan meningkatnya kesadaran ini, para ASN dapat membangun masa depan yang lebih aman dan sejahtera tanpa harus menggadaikan harapan hanya demi kepuasan sesaat. Semoga ulasan reflektif ini dapat menjadi cermin bagi setiap ASN untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial, serta mendorong terciptanya budaya hidup yang lebih sehat, terencana, dan bertanggung jawab di lingkungan aparatur sipil negara.(*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun