Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan lingkaran utang yang membelenggu, menurunkan produktivitas kerja, dan dalam beberapa kasus ekstrem, menimbulkan konflik dalam keluarga karena tekanan ekonomi yang berkepanjangan. Di sisi lain, beban pinjaman yang berjalan hingga masa pensiun juga mengancam kesejahteraan hari tua ASN, karena sebagian dana pensiun akan tersedot untuk pelunasan sisa cicilan.
Bila praktik ini terus dibiarkan tanpa intervensi berupa edukasi finansial dan kebijakan pengawasan yang bijak, maka bukan hanya ASN yang menanggung akibatnya, tetapi juga sistem birokrasi yang perlahan kehilangan kualitas karena aparaturnya sibuk bertahan dalam beban ekonomi.
Fenomena menyekolahkan SK seharusnya menjadi alarm bagi instansi pemerintah untuk lebih serius membangun kesadaran finansial di kalangan ASN. Literasi keuangan perlu ditanamkan sejak dini, bahkan sejak tahap pra-penempatan, agar para ASN memiliki pemahaman tentang pengelolaan keuangan yang bijak dan bertanggung jawab. Selain itu, pemerintah perlu menyusun regulasi yang mengatur batasan maksimal pemotongan gaji untuk cicilan, agar tidak mengganggu kebutuhan dasar hidup ASN.
Di sisi lain, bank dan lembaga keuangan juga harus lebih etis dalam menawarkan produk pinjaman, dengan mempertimbangkan aspek perlindungan konsumen dan edukasi risiko. Hanya dengan pendekatan kolaboratif antara ASN, pemerintah, dan lembaga keuangan agar budaya berutang berbasis SK dapat dialihkan menjadi budaya hidup hemat dan perencanaan keuangan jangka panjang yang sehat.
Maka sudah saatnya setiap ASN merefleksikan kembali nilai dari SK yang mereka pegang, bukan hanya sebagai jaminan penghasilan, tetapi sebagai amanah yang harus dijaga dengan bijak. Bijak mengatur keuangan, hidup sesuai kemampuan, dan merencanakan masa depan dengan realistis adalah bagian dari pengabdian yang tak kalah penting. Jangan sampai SK yang seharusnya menjadi simbol masa depan, justru menjadi beban masa depan.
Sebagai penguatan, penting bagi setiap ASN untuk memahami bahwa kestabilan finansial bukan ditentukan oleh besarnya penghasilan, tetapi oleh kebijaksanaan dalam mengelola dan memprioritaskan kebutuhan. Harapannya, dengan meningkatnya kesadaran ini, para ASN dapat membangun masa depan yang lebih aman dan sejahtera tanpa harus menggadaikan harapan hanya demi kepuasan sesaat. Semoga ulasan reflektif ini dapat menjadi cermin bagi setiap ASN untuk lebih bijak dalam mengambil keputusan finansial, serta mendorong terciptanya budaya hidup yang lebih sehat, terencana, dan bertanggung jawab di lingkungan aparatur sipil negara.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI