ASN DAN BANK: MENYOROTI PRAKTIK "MENYEKOLAHKAN SK" DEMI KEBUTUHAN KONSUMTIF
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Dengan iming-iming kemudahan pinjaman berbunga rendah dan proses cepat, banyak bank berlomba menawarkan program khusus untuk ASN, bahkan sejak mereka masih calon pegawai. Salah satu praktik yang kini menjadi sorotan adalah penggunaan Surat Keputusan (SK) pengangkatan ASN sebagai jaminan kredit, sebagai sebuah praktik yang kian dianggap wajar namun menyimpan banyak persoalan di balik kemudahannya.
"Menyekolahkan SK" merupakan sebuah istilah populer di kalangan ASN yang menggambarkan praktik menjadikan SK pengangkatan sebagai jaminan pinjaman ke bank. Praktik ini bukan lagi sekadar pilihan darurat, tetapi telah menjadi semacam "budaya baru" di lingkungan ASN, terutama bagi mereka yang ingin segera memenuhi kebutuhan hidup tanpa harus menunggu tabungan cukup terkumpul.
Alih-alih digunakan untuk kebutuhan mendesak seperti biaya kesehatan atau pendidikan, tak sedikit ASN yang memanfaatkan pinjaman ini untuk keperluan konsumtif seperti membeli kendaraan mewah, membangun atau merenovasi rumah secara besar-besaran, bahkan membiayai liburan. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah SK sebagai simbol pengabdian telah bergeser menjadi alat pemuas hasrat konsumtif semata?
Bahkan, beberapa lembaga keuangan telah menjadikan ASN sebagai target pasar utama produk pinjaman konsumtif. Akibatnya, SK yang seharusnya menjadi simbol kepercayaan dan tanggung jawab negara, kini diperlakukan layaknya jaminan barang bergerak yang bisa "ditukar" dengan uang tunai cepat. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran nilai: dari semangat pengabdian, menuju jebakan utang yang dibungkus dalam janji kesejahteraan instan.
Salah satu alasan utama di balik maraknya praktik "menyekolahkan SK" adalah dorongan gaya hidup yang melebihi kemampuan finansial. Banyak ASN yang merasa perlu mengikuti standar hidup tertentu demi pencitraan sosial, mulai dari membeli kendaraan baru, merenovasi rumah secara mewah, hingga membiayai liburan dan belanja barang bermerek. Tanpa perencanaan keuangan yang matang, mereka memilih jalan pintas dengan menggadaikan SK untuk mendapatkan dana cepat.
Sayangnya, keputusan ini sering kali tidak diiringi dengan kesadaran akan konsekuensi jangka panjang. Gaji bulanan yang seharusnya menopang kebutuhan hidup akhirnya tersedot untuk membayar cicilan, meninggalkan sedikit ruang untuk tabungan atau kebutuhan mendesak lainnya. Ketika konsumsi menjadi prioritas dibanding kestabilan, maka SK yang seharusnya menjadi simbol keamanan, justru berubah menjadi awal dari ketidakpastian keuangan.