REFLEKSI IMAN: MENJAGA DIRI, BIJAK MENJAUHI MINUMAN KERAS
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Di minggu awal bulan September 2025, jemaat-jemaat GMIT diajak masuk dalam perenungan iman dengan tema yang sangat relevan dan menyentuh kehidupan sehari-hari: Menjaga Diri dari Minuman Keras, berlandaskan firman Tuhan dari Amsal 31:1-9. Tema ini bukan sekadar peringatan moral, melainkan sebuah panggilan rohani untuk hidup bijak dalam terang kasih Allah. Dalam ibadah minggu itu, umat digiring untuk menyadari betapa seriusnya dampak minuman keras yang bukan hanya merusak tubuh, tetapi juga mengaburkan akal sehat, melemahkan daya pikir, bahkan menjerumuskan seseorang pada tindakan yang melukai diri sendiri maupun orang lain.
Firman yang awalnya merupakan nasihat seorang ibu kepada anak raja, kini bergema kembali sebagai teguran kasih bagi setiap orang percaya, agar jangan sampai kenikmatan sesaat menutup mata terhadap tanggung jawab besar yang Tuhan percayakan, baik sebagai pemimpin, sebagai orang tua, maupun sebagai anggota masyarakat.
Apa yang tampak sederhana dapat berubah menjadi jerat yang merampas kebebasan dan merusak panggilan iman. Karena itu, menjaga diri dari minuman keras bukan sekadar soal kesehatan jasmani, tetapi juga bentuk kesetiaan untuk tetap waras, adil, dan setia pada panggilan Tuhan. Dengan demikian, refleksi iman di minggu awal bulan ini menjadi ajakan untuk tidak berhenti hanya pada wacana, tetapi benar-benar mewujudkan hidup yang terkendali, penuh hikmat, dan berorientasi pada pelayanan yang adil bagi sesama.
Pertanyaan yang patut direnungkan adalah: apakah tubuh manusia benar-benar membutuhkan minuman keras? Jika kita jujur, tubuh tidak pernah didesain Tuhan untuk bergantung pada sesuatu yang merusak. Tubuh manusia membutuhkan air untuk menyegarkan, makanan sehat untuk menguatkan, serta istirahat cukup untuk memulihkan tenaga. Minuman keras justru berlawanan dengan itu, karena perlahan merusak organ vital, mengganggu fungsi otak, dan melemahkan daya hidup. Manusia dipanggil untuk memuliakan Allah melalui tubuhnya, bukan menjerumuskannya dalam kebiasaan yang merusak. Maka, jawaban sederhana atas pertanyaan tersebut ialah: tubuh tidak membutuhkan minuman keras, tetapi membutuhkan hikmat untuk hidup sehat dan terkendali.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) bahkan menegaskan bahwa tidak ada tingkat konsumsi alkohol yang sepenuhnya aman, sebab setiap tetesnya tetap memiliki risiko merusak sel-sel tubuh, memengaruhi fungsi hati, serta meningkatkan kemungkinan kanker dan penyakit kronis lainnya. Artinya, secara kesehatan pun tubuh tidak pernah membutuhkan minuman keras, dan justru lebih sehat jika sepenuhnya dijauhkan darinya.
Dari sudut pandang medis, penelitian kesehatan modern pada dasarnya menyatakan bahwa tubuh manusia tidak membutuhkan alkohol, bahkan konsumsi dalam jumlah sekecil apa pun tetap berisiko. WHO juga menegaskan bahwa alkohol adalah zat karsinogenik tingkat tinggi dan bahwa konsumsi ringan hingga sedang ternyata menyumbang sebagian besar kasus kanker yang terkait alkohol, misalnya kanker payudara dan usus besar
Temuan riset baru juga memperkuat peringatan ini: sebuah studi besar menyebutkan bahwa konsumsi alkohol, bahkan dalam jumlah rendah, berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian akibat berbagai penyakit, dimulai dari risiko tertinggi sekitar 1 dari 1.000 kematian bila mengonsumsi lebih dari tujuh minuman per minggu, dan semakin tinggi seiring jumlah konsumsi bertambah. Dengan demikian, konsensus ilmiahnya semakin jelas: tubuh manusia tidak memerlukan alkohol untuk hidup sehat; justru sebaliknya, menjauhinya berarti menjaga integritas tubuh, pikiran, dan panggilan iman secara lebih utuh.