Di tengah suasana merayakan kemerdekaan bangsa Indonesia ke delapan puluh tahun, ketika semangat persatuan dan penghormatan terhadap para pahlawan bangsa seharusnya menguat, publik justru dikejutkan oleh sebuah narasi yang beredar luas di berbagai tayangan media sosial.Â
Pernyataan Menteri Keuangan, ibu Sri Mulyani yang menyebut guru dan dosen sebagai "beban negara" sontak menjadi sorotan. Bagi masyarakat umum, dan terutama bagi para pendidik, ucapan ini terasa seperti hadiah yang tidak diharapkan, muncul di saat seharusnya penghargaan terhadap peran guru dan dosen justru semakin ditegaskan.Â
Kontroversi pun mengemuka, memunculkan beragam tafsir, mulai dari yang melihatnya sebagai kritik rasional terhadap anggaran hingga yang menilainya sebagai bentuk stigma terhadap profesi pendidik.
Dunia pendidikan selalu ditempatkan sebagai fondasi utama pembangunan, dan guru serta dosen adalah aktor sentral dalam proses itu. Mereka bukan hanya pengajar pengetahuan, tetapi juga pembentuk karakter, pemimpin masa depan, dan penjaga nilai-nilai kebangsaan.Â
Oleh karena itu, segala isu yang menyangkut profesi pendidik nyaris selalu menarik perhatian publik, terlebih jika bersinggungan dengan kebijakan negara atau pernyataan pejabat tinggi.
Pendidikan bukan sekadar urusan biaya, melainkan investasi jangka panjang yang hasilnya menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa.Â
Namun, ketika aspek pendidikan disentuh dengan bahasa ekonomi yang terlalu kaku, muncul risiko: nilai kemanusiaan pendidik bisa tereduksi menjadi sekadar angka dalam tabel anggaran.
Ucapan yang dilontarkan Menteri Keuangan ini telah menimbulkan gelombang diskusi: apakah negara sedang menegur manajemen anggaran, atau tanpa sadar menilai guru dan dosen bukan sebagai aset strategis melainkan beban fiskal?Â
Reaksi masyarakat, akademisi, dan para pendidik pun berlapis: mulai dari yang berusaha memahami konteks, yang menuntut klarifikasi, hingga yang mengecam keras karena merasa profesinya dipandang sebelah mata.