ANTARA ADAT DAN KESEHATAN: KETIKA TRADISI "BELIS" MAHAL DAN GIZI IBU HAMIL MURAH
*Salmun Ndun,S.Pd., Guru UPTD SMP Negeri 1 Lobalain, Kab. Rote Ndao
Kalimat provokatif itu bukan sekadar sindiran, tapi alarm keras tentang ketimpangan cara berpikir yang memuja simbol budaya, namun lalai menjaga esensi kehidupan. Di tengah gegap gempita pesta pernikahan adat, yang dijunjung tinggi adalah gengsi dan status, bukan kesiapan keluarga baru membangun generasi sehat dan kuat. Tulisan tersebut menjadi pintu masuk yang tajam untuk merenungkan kembali: apakah adat yang kita warisi masih berpihak pada kehidupan, atau justru menjadi beban yang tak mampu menjamin kualitas hidup anak-cucu kita?
Tradisi belis atau mas kawin adat dalam sejumlah masyarakat di Nusa Tenggara Timur memang memiliki nilai kultural yang tinggi. Hal ini melambangkan penghargaan kepada pihak perempuan, wujud tanggung jawab laki-laki, dan simbol pengikat hubungan kekerabatan. Namun, dalam praktiknya, belis kerap berubah menjadi beban ekonomi luar biasa, terutama bagi keluarga dari kalangan menengah ke bawah. Ironisnya, di saat belis dipaksakan harus mahal demi menjaga "wibawa" adat, makanan bergizi untuk ibu hamil justru dianggap enteng atau bahkan diabaikan.
Tidak sedikit kasus di mana pasangan muda terpaksa menunda konsumsi gizi seimbang karena seluruh tabungan dan pendapatan habis untuk membayar belis, biaya pesta, hingga perlengkapan adat. Akibatnya, masa kehamilan yang seharusnya menjadi waktu untuk mempersiapkan kehidupan baru justru diisi dengan kekurangan nutrisi, stres ekonomi, dan ketidakpastian. Inilah realita getir di banyak pelosok, di mana adat terus dilestarikan secara simbolik, namun tidak lagi mampu menjamin kesejahteraan generasi penerus.
Dalam banyak kasus, harga belis yang tinggi sering kali menjadi beban ekonomi yang berat bagi keluarga, terutama bagi pasangan muda yang baru memulai hidup bersama. Demi memenuhi tuntutan adat dan menjaga harga diri di mata masyarakat, tak jarang keluarga harus menjual ternak, menjaminkan aset, atau bahkan berutang. Akibatnya, prioritas ekonomi keluarga bergeser: kebutuhan dasar seperti makanan bergizi, pemeriksaan kehamilan rutin, hingga persiapan kelahiran menjadi terpinggirkan. Yang tragis, semua itu terjadi hanya demi mempertahankan simbol kehormatan yang bersifat sesaat. Padahal, stabilitas ekonomi dan kecukupan gizi selama masa kehamilan jauh lebih penting untuk menjamin masa depan anak yang sehat dan cerdas.
Dampak dari pengabaian gizi ibu hamil demi memenuhi tuntutan adat seperti belis mahal tidaklah sepele. Ketika kebutuhan dasar ibu hamil, terutama asupan gizi yang tidak terpenuhi secara optimal, maka risiko kesehatan yang ditanggung oleh ibu dan janin meningkat drastis. Ibu hamil yang mengalami kekurangan nutrisi rentan terkena anemia, kelelahan kronis, gangguan metabolisme, hingga komplikasi serius saat persalinan. Sementara janin yang tumbuh dalam rahim yang kekurangan zat gizi seperti protein, zat besi, asam folat, dan kalsium berisiko mengalami hambatan pertumbuhan, kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, serta gangguan perkembangan otak yang bisa berdampak jangka panjang.
Salah satu risiko paling nyata adalah meningkatnya potensi stunting, dimana kondisi gagal tumbuh yang tidak hanya memengaruhi fisik anak, tetapi juga kemampuan kognitif dan kecerdasan. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 menunjukkan bahwa prevalensi stunting nasional berada pada angka 19,8% dari sebelumnya 21,5% pada tahun 2023. Penurunan ini merupakan capaian yang patut diapresiasi, namun sekaligus menjadi pengingat bahwa persoalan gizi anak, termasuk yang bermula dari masa kehamilan, masih menjadi tantangan serius.
Di balik angka tersebut, masih ada jutaan anak yang tumbuh dalam kondisi tidak ideal akibat kurangnya asupan gizi selama dalam kandungan dan tahun-tahun awal kehidupan. Artinya, perhatian terhadap gizi ibu hamil tidak bisa ditunda atau dikesampingkan, apalagi digadaikan demi pembiayaan adat seperti belis yang tinggi. Jika Indonesia ingin terus menurunkan angka stunting, maka peran keluarga, adat, dan masyarakat harus bergerak bersama memastikan bahwa setiap ibu hamil memiliki akses terhadap makanan bergizi dan perawatan yang layak, tanpa terhambat beban ekonomi yang bersumber dari tekanan budaya.
Ironisnya, semua ini bisa dicegah jika keluarga lebih memprioritaskan pemenuhan gizi selama masa kehamilan ketimbang pengeluaran besar-besaran untuk simbol adat yang sifatnya seremonial. Dalam jangka panjang, beban kesehatan yang ditanggung negara dan keluarga akibat generasi yang tumbuh dengan kualitas rendah akan jauh lebih mahal daripada nilai belis yang dibayar satu kali. Maka, penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa menjaga kesehatan ibu hamil bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan tanggung jawab sosial untuk memastikan masa depan generasi yang cerdas dan kuat.