Mohon tunggu...
Salman Alfarizhi
Salman Alfarizhi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang mahasiswa jurusan Informatika yang gemar berbincang masalah teknologi,seni dan transformasi digital.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ekonomi Paspasan di Era Scroll Tak Berujung

5 Agustus 2025   14:07 Diperbarui: 5 Agustus 2025   14:07 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Middle-class office worker in living room after work, scrolling smartphone, showing exhaustion (Sumber: AI-generated via ImageFx oleh penulis)

Beberapa tahun terakhir, media sosial sudah berubah jauh dari sekadar tempat berbagi foto atau kabar. Ia kini jadi panggung besar yang menampilkan versi terbaik dari kehidupan banyak orang. TikTok, Instagram, dan platform serupa bukan lagi cuma hiburan; mereka ikut membentuk standar "normal baru" tentang sukses, kaya, dan bahagia.

Bagi kita yang bekerja dengan gaji standar, situasinya agak rumit. Setelah seharian kerja, kita pulang, rebahan, buka ponsel, lalu mulai menggulir layar. Awalnya cuma mau hiburan. Tapi di sela video lucu atau tips ringan, muncul deretan konten orang beli mobil baru, liburan ke luar negeri, atau menunjukkan gaya hidup yang rasanya jauh di atas kemampuan kita. Perlahan, muncul rasa iri, minder, bahkan perasaan "kok hidup saya segini-gini aja."

Pertanyaannya, apakah rasa ini muncul murni karena kita punya FOMO (fear of missing out) melihat pencapaian orang lain? Atau ada peran algoritma media sosial yang memang mendorong kita untuk terus berada di pusaran pembanding tak berujung ini?

FOMO dan Perbandingan Sosial

FOMO sebenarnya bukan hal baru. Ia adalah rasa takut atau cemas kalau kita tertinggal dari momen atau pencapaian orang lain. Di era media sosial, rasa ini jadi lebih intens. Apalagi kalau penghasilan kita pas-pasan, sementara yang sering muncul di layar adalah mereka yang tampak serba cukup bahkan berlebih.

Kalau kita tarik ke teori psikologi, Leon Festinger pernah mengemukakan soal social comparison. Manusia cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain, entah itu membandingkan ke bawah (dengan mereka yang kondisinya lebih buruk) atau ke atas (dengan mereka yang lebih baik). Nah, media sosial mendorong kita untuk sering melakukan upward comparison---melihat ke atas---yang ujung-ujungnya bikin kita merasa kurang puas dengan hidup sendiri.

Yang lebih pelik, algoritma ikut menyiram bensin ke api ini. Begitu kita tertarik atau berhenti lama di video tentang kesuksesan orang lain, sistem akan membaca itu sebagai "minat." Lalu, kita akan terus disuguhi konten serupa. Alhasil, rasa FOMO jadi makin kuat, dan siklusnya berulang-ulang.

Peran Algoritma dalam Membentuk Tekanan

Kalau bicara algoritma media sosial, logikanya sederhana: tunjukkan konten yang membuat orang betah berlama-lama. Apa pun yang memicu emosi---kagum, iri, penasaran---akan lebih sering muncul di beranda kita.

Masalahnya, ini menciptakan semacam gelembung konten. Begitu kita terjebak di "bubble" video tentang pencapaian hidup orang lain, algoritma seperti berkata, "Oh, kamu suka yang seperti ini? Nih, tonton lagi, dan lagi." Jadinya, kita semakin sering melihat orang yang tampak jauh lebih sukses, kaya, dan bahagia dari kita.

Perlu digarisbawahi, algoritma tidak punya niat jahat. Dia tidak sengaja membuat kita merasa gagal. Namun, sistemnya memang tidak peduli apakah kita senang atau tertekan, selama kita tetap menggulir layar. Ini adalah desain yang netral secara moral, tapi dampaknya ke psikologis pengguna bisa berat.

Dampak Psikologis dan Sosial 

Gabungan antara FOMO dan algoritma ini efeknya bisa terasa dalam dua level: pribadi dan sosial.

Secara pribadi, rasa minder bisa berkembang jadi stres, kecemasan, bahkan rasa tidak puas terhadap pencapaian sendiri. Banyak karyawan yang tadinya cukup-cukup saja jadi merasa hidupnya ketinggalan jauh.

Secara sosial, media sosial menciptakan standar baru tentang apa itu sukses. Gaya hidup yang ditampilkan di layar sering kali membuat kita merasa perlu "ikut tren" meski kemampuan finansial belum tentu mendukung. Inilah yang kadang mendorong orang pada perilaku konsumtif---bahkan sampai berutang---hanya untuk terlihat "tidak tertinggal."

Lebih jauh lagi, media sosial membuat seolah-olah keberhasilan itu wajib dipamerkan. Tidak cukup hanya sukses; kesuksesan itu harus terlihat, terukur, dan mendapat validasi dari orang lain di dunia digital.

Refleksi dan Jalan Tengah

Menyalahkan algoritma sepenuhnya mungkin terlalu gampang. FOMO adalah sifat manusia yang sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum ada media sosial. Bedanya, sekarang kita hidup di era di mana algoritma memperkuat sifat itu berkali-kali lipat.

Bagi karyawan dengan gaji standar, tantangannya jadi dua lapis: tekanan ekonomi di dunia nyata dan tekanan ekspektasi di dunia digital. Cara menghadapinya tidak selalu mudah, tapi ada langkah-langkah kecil yang bisa membantu.

Di level pribadi, kita bisa mulai menyadari pola ini. Mengubah kebiasaan konsumsi konten jadi langkah awal. Kita bisa follow akun yang memberi inspirasi positif, edukasi, atau sekadar hiburan yang menenangkan. Fitur mute, not interested, atau unfollow bukan sekadar tombol---itu alat untuk menjaga kesehatan mental.

Di level yang lebih luas, perusahaan media sosial juga punya peran. Transparansi soal bagaimana algoritma bekerja dan memberi opsi kontrol ke pengguna untuk mengatur jenis konten yang ingin dilihat akan sangat membantu. Meski kelihatannya sederhana, langkah ini bisa membuat pengalaman bersosial media lebih sehat.

------

Perasaan iri atau minder yang muncul saat berselancar di media sosial bukan semata karena kita "kurang bersyukur" atau "tidak kuat iman." Ada sistem yang bekerja di balik layar, memadukan sifat alami manusia untuk membandingkan diri dengan desain algoritma yang mendorong kita terus melihat lebih banyak.

Algoritma memang tidak secara sengaja memaksa kita untuk jadi lebih dari orang lain. Tapi cara kerjanya yang menampilkan "scroll tak berujung" membuat kita sering kali terjebak dalam lingkaran rasa kurang.

Menyadari pola ini bisa jadi langkah awal untuk keluar dari tekanan itu. Kita bisa mulai membangun definisi sukses yang lebih personal dan realistis---yang tidak diukur dari berapa banyak pencapaian yang bisa ditampilkan di layar, tapi dari sejauh mana kita merasa cukup dengan diri sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun