Sebenarnya Indonesia sudah punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang baru disahkan pada 2022 lalu. Tapi sayangnya, di lapangan, implementasinya masih belum kelihatan menggigit. Belum ada mekanisme yang benar-benar tegas untuk memberi sanksi pada pelanggaran. Dan kalau pun ada insiden kebocoran, kita---sebagai korban---jarang tahu harus lapor ke mana dan dapat perlindungan seperti apa.
Dari sisi platform digital, banyak yang belum serius membangun sistem yang mengutamakan keamanan data. Mereka masih melihat data pengguna sebagai 'aset' yang bisa diolah untuk kepentingan bisnis. Di sisi lain, kita sebagai pengguna juga tak punya banyak pilihan. Mau tak mau, harus ikut aturan main mereka, karena semua layanan penting kini berbasis digital.
Data Pribadi Itu Tidak Pernah Benar-Benar "Pribadi"
Yang sering luput disadari banyak orang, data pribadi bukan cuma tentang nama dan nomor HP. Dari sekilas data itu saja, pelaku bisa menggali informasi lebih dalam---mulai dari profil sosial, preferensi belanja, hingga perilaku digital. Ini bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal yang merugikan, seperti penipuan, pencurian identitas, hingga manipulasi opini publik lewat algoritma.
Coba bayangkan kalau data kita digunakan untuk menentukan skor kredit tanpa kita tahu prosesnya, atau dijadikan bahan untuk menargetkan iklan politik yang sangat personal. Ini bukan lagi soal keamanan akun, tapi soal kendali atas siapa kita di mata sistem digital.
Itulah mengapa anggapan bahwa data kita hanya digunakan untuk keperluan akun, atau "cuma buat isi form doang kok," adalah sangat keliru. Kita tidak pernah tahu ke mana ujungnya, dan siapa saja yang ikut melihat, menyalin, atau bahkan memperjualbelikan informasi itu.
Saatnya Mengubah Cara Pandang Soal Privasi
Kalau kita ingin keluar dari siklus ini, perubahan harus terjadi di banyak lapisan. Pemerintah perlu memperkuat penegakan UU PDP, termasuk membentuk otoritas independen yang bisa bertindak cepat saat ada pelanggaran. Tak cukup hanya memberi denda, tapi juga harus ada transparansi publik tentang siapa yang melanggar, dan bagaimana korban diberi ganti rugi.
Dunia pendidikan juga punya peran besar. Literasi digital harus diajarkan sejak dini, bukan hanya soal cara menggunakan teknologi, tapi juga cara menjaga diri di dunia maya. Edukasi seperti ini bisa dilakukan lewat simulasi sederhana---misalnya menunjukkan seberapa banyak data yang bisa dikumpulkan dari satu klik pada iklan.
Perusahaan digital juga perlu ikut bertanggung jawab. Mereka seharusnya tak hanya fokus pada desain yang menarik atau layanan yang cepat, tapi juga menjamin kontrol penuh pengguna atas data mereka. Mulai dari opsi menghapus data, mematikan pelacakan, hingga transparansi soal siapa yang melihat dan memproses data kita.
Dan tentu saja, tanggung jawab terbesar tetap ada pada kita sendiri. Kita harus mulai menyadari bahwa menjaga data pribadi bukanlah hal sepele. Ini bukan soal paranoia, tapi soal menjaga kendali atas hidup digital kita sendiri.