Di zaman serba digital seperti sekarang, ironi besar justru terjadi di hadapan kita. Teknologi berkembang begitu pesat---kecerdasan buatan, internet of things, layanan berbasis cloud---semuanya menawarkan kemudahan luar biasa. Tapi sayangnya, di balik semua itu, ada satu hal yang justru makin diabaikan: privasi.
Entah karena terlalu sering terjadi atau karena minim informasi, banyak orang mulai terbiasa dengan kebocoran data. Mereka anggap itu sebagai hal yang wajar. "Ah, sudah biasa," kira-kira begitu respons kebanyakan orang saat mendengar data pribadinya bocor ke luar. Yang lebih mengkhawatirkan, banyak dari kita masih dengan santai mengisi data seperti nama lengkap, nomor HP, alamat rumah, hingga lokasi real-time ke berbagai aplikasi, tanpa pernah benar-benar tahu data itu dipakai untuk apa, atau siapa saja yang bisa mengaksesnya.
Edukasi Digital Kita Masih Terlalu Dangkal
Salah satu akar masalahnya adalah soal literasi digital yang masih setengah matang. Banyak orang mengira bahwa melek digital itu sekadar bisa pakai aplikasi, tahu cara belanja online, atau bisa edit foto dengan cepat. Tapi soal bagaimana data pribadi mereka dikumpulkan, diproses, disimpan, dan disebarkan? Jarang yang paham, apalagi peduli.
Kebanyakan dari kita terburu-buru menyetujui "terms and conditions" tanpa dibaca, asal bisa cepat masuk aplikasi. Padahal, bisa jadi di balik persetujuan itu, kita sebenarnya mengizinkan aplikasi mengakses kamera, mikrofon, lokasi GPS, bahkan daftar kontak pribadi. Lebih dari sekadar 'izin', kita sebenarnya sedang menyerahkan sebagian dari identitas digital kita---secara cuma-cuma.
Lama-lama Jadi Terbiasa: Efek Domino dari Kebocoran Data
Yang bikin makin runyam, kasus kebocoran data sudah terlalu sering terjadi. Dari instansi pemerintah, e-commerce, hingga platform transportasi. Anehnya, setiap kali ada kasus baru, reaksinya makin datar. Seolah-olah ini sudah jadi hal biasa yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Ada istilahnya: privacy fatigue---kondisi saat orang merasa lelah dan akhirnya apatis terhadap isu privasi. Karena terlalu sering terjadi, kita jadi merasa tidak punya daya. Akhirnya muncul sikap seperti, "Ya sudahlah, toh semua juga sudah bocor."
Dari sinilah muncul budaya permisif: kita tahu ada risiko, tapi tetap jalan terus karena merasa tidak ada pilihan. Apalagi kalau aplikasi itu menawarkan kenyamanan. Login pakai akun Google atau Facebook? Gampang. Tinggal klik satu tombol, langsung masuk. Jarang yang berpikir dua kali soal dampaknya ke keamanan data.
Regulasi Ada, Tapi Masih Lemah Gigi