Â
Di tengah gempuran digitalisasi yang terus melaju di semua lini kehidupan, Bank Indonesia bersiap meluncurkan sebuah inovasi baru: Payment ID. Rencananya akan mulai diberlakukan pada 17 Agustus 2025, tepat di hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke80. Kedengarannya memang menarik---satu nomor identitas untuk semua transaksi keuangan, dari belanja online, bayar cicilan, pinjam uang lewat aplikasi, sampai investasi. Tapi di balik janji efisiensi dan transparansi, tersimpan pertanyaan besar: apa kabar dengan privasi kita sebagai warga negara?
Ambisi Besar di Balik Deretan Angka
Payment ID ini bukan sekadar nomor acak. Ia lahir dari gabungan data NIK dan kode transaksi tertentu. Secara sederhana, sistem ini akan merekam dan mengintegrasikan setiap transaksi finansial seseorang dalam satu platform. Bayangkan seperti jejak digital di dompet: ke mana pun uang Anda mengalir, sistem tahu.
Di atas kertas, Payment ID punya manfaat besar. Bank bisa lebih akurat menilai kelayakan finansial seseorang tanpa harus bergantung pada data lama seperti histori kredit dari SLIK OJK. Semua lebih real-time. Bahkan BI bisa melihat siapa yang sedang terjebak utang pinjol, siapa yang stabil, dan siapa yang belanjanya melebihi pendapatan.
Tapi, Bukankah Itu Terlalu Banyak yang Mereka Tahu?
Nah, di sinilah mulai terasa ganjil. Ketika semua transaksi keuangan seseorang terpusat dalam satu sistem, risiko penyalahgunaan pun jadi lebih tinggi. Bukan cuma dari peretas, tapi bisa juga dari pihak internal yang tak bertanggung jawab. Ini bukan sekadar soal uang---tapi tentang siapa kita, gaya hidup kita, bahkan pola pikir kita yang bisa ditebak dari kebiasaan bertransaksi.
Kita tidak sedang bicara teori konspirasi. Ini soal kenyataan bahwa semakin banyak data yang tersimpan dalam satu sistem, maka semakin besar pula godaan untuk mengakses dan memanfaatkannya---entah untuk kepentingan bisnis, politik, atau kontrol sosial yang lebih luas.
Persetujuan yang Belum Tentu Disadari
Bank Indonesia memang menegaskan bahwa semua akses data akan membutuhkan persetujuan pengguna. Akan ada notifikasi yang muncul di ponsel ketika, misalnya, bank ingin melihat data transaksi Anda. Tapi mari jujur saja: berapa banyak dari kita yang benar-benar membaca, memahami, dan mempertimbangkan sebelum menekan tombol "setuju"?
Inilah yang disebut pseudo-consent. Secara teknis kita memang menyetujui, tapi secara sadar, banyak dari kita sebenarnya tidak tahu apa yang sedang diizinkan. Dalam masyarakat yang tingkat literasi digitalnya belum merata, hal ini jadi lubang besar dalam sistem.
Saat Transparansi Menyenggol Privasi
Apa yang awalnya terlihat sebagai langkah maju bisa berubah menjadi alat pengawasan finansial kalau tidak dikendalikan dengan bijak. Bayangkan kalau semua pengeluaran kita bisa dipantau, dan data itu diakses oleh pihak tertentu tanpa kita tahu persis siapa dan untuk apa. Bukankah itu mirip seperti hidup di rumah kaca? Terang benderang, tapi kehilangan rasa aman.
Dan yang lebih mengkhawatirkan: bagaimana kalau data itu jatuh ke tangan yang salah? Di era di mana data adalah komoditas mahal, siapa yang bisa menjamin bahwa informasi tentang keuangan pribadi tidak akan diperjualbelikan atau disalahgunakan?
Bangun Sistem yang Bukan Cuma Pintar, Tapi Juga Bijak
Agar Payment ID benar-benar membawa manfaat dan tidak menjadi bumerang, beberapa hal harus jadi perhatian utama.
Pertama, transparansi bukan hanya tentang data masyarakat, tapi juga tentang siapa yang mengakses data itu dan untuk apa. Masyarakat berhak tahu sejauh mana datanya digunakan dan oleh siapa.
Kedua, sistem harus punya kontrol yang bisa digunakan secara aktif oleh pengguna. Jangan hanya memberi pilihan "setuju" atau "tidak setuju", tapi juga memungkinkan pengguna memilih jenis data apa yang ingin dibagikan. Harus ada kendali yang benar-benar di tangan masyarakat.
Ketiga, edukasi digital harus jadi prioritas. Sistem secanggih apa pun akan sia-sia kalau masyarakat tidak memahami cara kerjanya. Tanpa pemahaman, pengguna hanya akan jadi penonton dalam sistem yang mengelola kehidupan finansial mereka sendiri.
Dan yang terakhir---ini sangat penting---perlindungan hukum harus kuat dan tegas. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) perlu diberlakukan secara nyata, bukan hanya jadi formalitas. Harus ada lembaga independen yang mengawasi, menindak, dan memberi sanksi ketika ada pelanggaran dalam pemanfaatan data dari Payment ID.
Akhirnya, Ini Soal Kepercayaan
Kita semua ingin sistem keuangan yang modern, efisien, dan aman. Tapi teknologi seharusnya membebaskan, bukan mengikat. Payment ID adalah langkah besar ke depan, tapi harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat dan komitmen kuat untuk menjaga hak privasi masyarakat. Karena pada akhirnya, kepercayaan tidak dibangun lewat algoritma, tapi lewat tanggung jawab dan transparansi yang nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI